Dalam Mihrab Cinta
Karya : Habiburrahman El Shirazy
Berikut ini cerita Dalam Mihrab Cnta dimulai. Kisah berlatar belakang di sebuah pesantren di Pagu, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur.
Siang itu Pesantren Al Furqon yang terletak di daerah Pagu, Kediri, Jawa Timur geger. Pengurus Bagian Keamanan menyeret seorang santri yang diyakini mencuri. Beberapa orang santri terus menghajar santri berambut gondrong itu. Santri itu mengaduh dan minta ampun.
"Ampun, tolong jangan pukul saya. Saya tidak mencuri!" Santri yang mukanya sudahberdarah-darah itu mengiba.
"Ayo mengaku. Kalau tidak kupecahkan kepalamu!" Teriak seorang santri berkopiah hitam dengan wajah sangat geram.
"Sungguh, bukan saya pelakunya." Si Rambut Gondrong itu tetap tidak mau mengaku. Serta merta dua bogem melayang ke wajahnya.
"Nich rasain pencuri!" teriak Ketua Bagian Keamanan yang turut melayangkan pukulan. Si Rambut Gondrong mengaduh lalu pingsan.
Menjelang Ashar, si Rambut Gondrong siuman. La dikunci di gudang pesantren yang dijaga beberapa santri.
Kedua tangan dan kakinya terikat. Airmatanya meleleh.
la meratapi nasibnya. Seluruh tubuhnya sakit. la merasa kematian telah berada di depan mata.
Di luar gudang para santri ramai berkumpul. Mereka meneriakkan kemarahan dan kegeraman.
"Maling jangan diberi ampun!"
"Hajar saja maling gondrong itu sampai mampus!"
"Wong maling kok ngaku-ngaku santri. Ini kurang ajar. Tak bisa diampuni!"
la menangis mendengar itu semua. Sepuluh menit kemudian pintu gudang terbuka. la sangat ketakutan.
Tanpa ia sadari ia kencing di celana karena saking takutnya.
Para santri yang didera kemarahan meluap hendak menerobos masuk. Tapi Lurah Pondok menahan mereka dengan sekuat tenaga. Pak Kiai, pengasuh pesantren masuk dengan wajah dingin. Beliau diikuti empat pengurus. Satu di antaranya Ketua Bagian Keamanan.
Lampu gudang dinyalakan. Pintu gudang lalu ditutup oleh Lurah Pondok. Pak Kiai berdiri tepat di hadapannya. Empat pengurus dan Lurah Pondok mengambil posisi mengelilingi si Gondrong.
"Ini Pak Kiai pencuri yang selama ini menjarah barang-barang para santri. Baru tadi siang ditangkap basah oleh Bagian Keamanan." Ketua Bagian Keamanan membuka pengadilan.
"Siapa namamu?" tanya Pak Kiai. Karena jumlah santri putra ada seribu lima ratus santri, Pak Kiai tidak hafal nama semua santrinya.
Si Rambut Gondrong menjawab pelan, "Syamsul...
Syamsul Hadi, Pak Kiai."
"Nama yang sangat bagus. Benar kamu yang mencuri?"
Syamsul menggelengkan kepala. Ketua Keamanan marah,
"Dia,memang orangnya sangat bandel Pak Kiai.
Dia tidak mau mengaku, tapi kami menangkap basah dia sedang membuka lemari si Burhan di kamar 17
Pak Kiai. Di kamar 17 sudah dua orang kehilangan uang. Saat itu kamar sepi, kami yang memang memasang orang di atas eternit melihatnya membuka lemari Burhan."
"Benarkah kau membuka lemari Burhan?" tanya Pak Kiai pelan.
"Benar Pak Kiai. Tapi tidak untuk mencuri."
"Lantas untuk apa?!!" bentak Ketua Bagian Keamanan garang.
"Karena saya diminta untuk mengambilkan uang oleh Burhan Pak Kiai." Jawab Syamsul.
"Hmm...Burhan ada?" tanya Pak Kiai sambil melihat Ketua Bagian Keamanan.
Ada, Pak Kiai."
"Dia tahu kalau si Syamsul tertangkap karena membuka lemarinya?"
"Tahu Pak Kiai."
Pak Kiai manggut-manggut dan mengerutkan dahi.
"Panggil Burhan kemari!" pinta Pak Kiai.
"Baik Pak Kiai."
Ketua Bagian Keamanan lalu bergegas keluar.
Syamsul berharap Burhan mau menjelaskan semuanya.
Namun dalam hati ia bertanya-tanya, Burhan tahu kalau dirinya tertangkap kenapa tidak menjelaskan semuanya. Apa karena Burhan takut pada amarah para santri. Atau...? Ia tidak bisa banyak memprediksi.
Seluruh tubuhnya terasa ngilu. Ia berharap di hadapan Pak Kiai, Burhan menjelaskan bahwa ia memang diminta Burhan mengambilkan uangnya. Dengan penjelasan Burhan itu ia berharap namanya dibersihkan dan semua santri yang telah berlaku aniaya padanya diberi hukuman, paling tidak harus minta maaf.
Burhan datang dengan wajah sedikit pucat. Namun masih tampak tenang. Ia sama sekali tidak memandang Syamsul yang sedang berdarah-darah kesakitan.
"Burhan ke sini!" pinta Pak Kiai.
Burhan mendekat.
"Kau sudah tahu apa yang terjadi? Kenapa Syamsul diadili dan kenapa kau dibawa kemari?" lanjut Pak Kiai.
"Iya Pak Kiai."
"Kau harus jujur. Karena kejujuran mendatangkan kebaikan. Dan kedustaan mendatangkan petaka.
Syamsul ini mengaku bahwa kau memintanya mengambilkan uangmu di lemarimu, apa benar?"
Syamsul menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut temannya itu. Ia berharap temannya itu jujur, mengatakan yang sebenarnya. Dengan suara bergetar Burhan menjawab, "Ti...tidak benar Pak Kiai!"
Syamsul kaget bagai disambar geledek. Dengan penuh amarah dia berteriak,
"Teganya kau Bur... Kau santri atau bajingan?!
Dancok kau Bur!"
"Diam kau maling! Kau yang jelas bajingan bukan Burhan!" bentak Bagian Keamanan.
"Demi Allah yang menciptakan langit dan bumi Pak Kiai. Saya tidak mencuri. Burhan yang tadi meminta saya mengambilkan uangnya untuk beli baju dan mentraktir saya. Biarlah seluruh laknat Allah menimpa saya jika saya berdusta!" Syamsul bersumpah dengan suara lantang. Kedua matanya menyala seperti mata elang.
Pak Kiai agak kaget. Beliau langsung memandang Burhan,
"Burhan karena Syamsul sudah berani bersumpah.
Kau harus berani juga bersumpah bahwa apa yang kaukatakan benar. Jika tidak maka kau bersalah. Kau akan dapat hukuman atas kedustaanmu. Sebab kedustaanmu itu telah mencelakakan orang lain."
Dengan tenang Burhan menjawab, "Penjahat akan melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya Pak Kiai. Baiklah, saya bersumpah bahwa apa yang baru saja saya katakan benar. Jika saya berdusta maka semoga segala laknat Allah menimpa saya."
Saat mengucapkan sumpah itu, dalam hati Burhan mengatakan yang dimaksud dengan kata-katanya "bahwa yang baru saja saya katakan benar" adalah perkataannya "penjahat akan melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya" bukan yang lain. Tak ada yang
tahu hal itu kecuali Burhan. Syamsul meneteskan airmata. Hatinya sangat sakit. Rasa sakit hatinya melebihi seluruh sakit di sekujur tubuhnya yang berdarah-darah.
"Baiklah, semuanya lebih jelas. Untuk memutuskan siapa yang sesungguhnya harus dihukum, silakan pengurus bermusyawarah. Dan sekalian tentukan hukuman yang paling bijak." Kata Pak Kiai sambil memandang wajah para pengurus. Lalu beliau pergi.
Setelah Pak Kiai pergi, Syamsul berteriak-teriak marah. Andai kedua tangan dan kakinya tidak diikat tentu ia akan mengamuk.
"Burhan, kaulah bajingan paling jahat! Kau tega memfitnah temanmu! Ingat Burhan, Allah tidak tuli! Allah tidak tidur!"
Burhan menjawab tenang sambil memandang ke Lurah Pondok, "Penjahat ulung itu bisa berakting yang canggih!"
Burhan lalu pergi. Para pengurus juga meninggalkan gudang. Mereka menuju kantor untuk rapat. Akhirnya diputuskan, Syamsul dihukum gundul dan kemudian
dikeluarkan dari pesantren.
Pengurus bergerak cepat. Lurah Pondok menelpon ayah Syamsul, seorang pengusaha batik sukses di Pekalongan. Yang lain menyiapkan acara eksekusi penggundulan. Keputusan rapat pengurus itu ditulis resmi. Diketik rapi. Ditandatangani oleh Lurah Pondok, Sekretaris Pondok, Ketua Bagian Keamanan, dan Pengasuh Pondok Pesantren.
Sore itu juga Syamsul diambil dari gudang. Di halaman pondok telah disiapkan kursi yang diletakkan di tengah garis melingkar. Syamsul digiring dan didudukkan di kursi itu. Para santri menyaksikan eksekusi penggundulan itu dari luar garis. Bagian Keamanan membacakan hasil keputusan:
"...dengan ini diputuskan bahwa Saudara Syamsul Hadi terbukti bersalah melakukan kejahatan pencurian yang dilarang agama dan melanggar tata tertib pesantren.
Karenanya ia dikeluarkan dengan tidak hormat dari pesantren, dengan sebelumnya dihukum takzir yaitu digundul untuk dijadikan pelajaran bagi santri yang lain."
Para santri bersorak sorai. Kata-kata sumpah serapah keluar menghujat Syamsul. Syamsul benar-benar sangat terpukul. Ketika gunting bagian keamanan mulai mencowel-cowel rambut kepalanya ia menangis. Sepuluh menit kemudian eksekusi itu selesai. Syamsul dibawa lagi ke dalam gudang. Dua orang pengurus membawa seember air dan menyuruhnya mandi. Ikatan di tangan dan di kakinya dilepas. Semua barang Syamsul telah dikemas rapi dan diletakkan di gudang.
Jam sebelas malam orangtua Syamsul datang. Pak Kiai menemui di ruang tamu pesantren. Syamsul berikut barang-barangnya dihadirkan. Pak Kiai dan Lurah Pondok menjelaskan semuanya.
"Maafkan kami, Pak. Inilah tata tertib yang telah kita sepakati bersama. Syamsul terbukti mencuri maka harus dikeluarkan." Kata Lurah Pondok santun.
"Kita mengenal wejangan orangtua kita dulu, jika ada satu rayap di kapal maka harus segera dibuang. Kalau tidak rayap itu bisa menjadi banyak, menggerogoti kapal dan bisa menenggelamkan kapal serta membinasakan seluruh penumpangnya. Itulah yang saat ini kami lakukan. Rayap itu harus dibuang..." Ketua Bagian Keamanan menimpal.
"Saya berharap, ini jadi pelajaran bagi Syamsul. Dan setelah ini Syamsul berubah. Saya melihat Syamsul ini punya potensi untuk baik dan maju." Kata Pak Kiai bijaksana.
Ayah Syamsul, Pak Bambang, sangat malu dan marah. Di ruang itu juga ia menampar anaknya berkalikali,
"Anak tak tahu diri! Apa masih kurang Papa memberimu uang saku dan lain sebagainya. Kurang uang tinggal minta, kenapa malah maling!"
Plak! Plak! Plak!
Syamsul meringis. Ia diam saja. Ia merasa tak ada gunanya membela. Ia akan menjelaskan semuanya jika sampai di rumah nanti. Namanya memang telah rusak.
Ia benar-benar hancur di pesantren itu. Tapi ia berharap tidak hancur di tempat lain.
Sebelum ia meninggalkan ruangan itu ia tegakkan kepala dan berkata setenang mungkin, "Pak Kiai, Panjenengan sudah melakukan tindakan zalim dengan memperlakukan saya seperti ini. Panjenengan belum melakukan tabayun yang sesungguhnya. Dan kalian para pengurus yang memutuskan hukuman untuk saya dengan semena-mena, dengar baik-baik, kalian telah melakukan dosa besar! Kesalahan besar! Ini hak adami.
Suatu saat kalian akan tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Kalian akan tahu kelak siapa sebenarnya rayap itu. Dan aku tidak akan memaafkan dosa kalian semua kecuali kalian mencium telapak kakiku!"
Mendengar hal itu Ketua Bagian Keamanan hanya geleng-geleng kepala. Pak Kiai tersentak, ada keraguan berbalut kekuatiran menyusup dalam hatinya, namun diam saja.
Mau tahu kelanjutan cerita ini? Anda bisa beli di took buku terdekat atau Anda beminat mendownload gratis.
Klik di sini!