Kisah ini terjadi pada jaman dahulu kala, waktu alat transportasi masih menggunakan kuda. Namun hikmah yang terkandung di dalamnya tetap abadi dan layak untuk diceritakan ulang, agar kita menjadi bijak dalam menyikapi hidup yang sementara ini.
Berikut ceritanya :
Seorang bapak mengajak anaknya pergi ke pasar yang jauh dari rumah mereka unutuk menjual kuda mereka untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Berangkatlah mereka berdua pagi-pagi sekali dengan berjalan kaki. Sedangkan kuda mereka tuntun. Di tengah perjalanan mereka bertemu seseorang.
“Mau ke mana pak”, Tanya orang pertama yang mereka temui.
“Mau ke pasar. Saya mau menjual kuda ini ke pasar. Cuma kuda ini satu-satunya harta yang bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Ya terpaksa ini kami lakukan karena belum ada cara yang lain”, kata sang bapak menjawab.
“Kok kudanya dituntun. Agar tidak capai, ‘
“Iya yah. Terima kasih atas sarannya” kata sang bapak.
Kemudian mereka pun berpisah.
Menuruti saran orang tersebut maka sang bapak menaikkan sang anak ke kuda. Kuda dinaiki sang anak, sementara sang bapak menuntun saja. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan.
Dalam perjalanan selanjutnya mereka melewati seseoang.
“Dasar anak tidak tahu diri. Masak bapaknya di bawah menuntun kuda. Anaknya enak-enakan naik kuda. Tidak sopan. Pantasnya bapaknya yang sudah tua yang naik dan anaknya yang menuntun. Itu baru anak berbakti”, begitu komentar orang kedua yang mereka temui.
“Oh iya yah “ kata sang bapak dalam hati.
Mereka kemudian bertukar tempat. Sang bapak naik kuda, anak yang menuntun.
Perjalanan kemudian mereka lanjutkan.
Dalam perjalanan mereka bertemu orang ketiga.
“Dasar bapak tidak sayang anak. Masak ia enak-enakan naik kuda, sementara anaknya yang menutun. Orang tua macam apa yang tidak sayang anaknya”, begitu komentar orang ketiga yang mereka temui.
Untuk menuruti sarang orang ketiga, sang bapak bersama anaknya naik kuda bersama-sama. Berdua mereka naik kuda, dan berharap ini adalah cara terbaik dan tidak dikomentari orang lagi. Perjalanan kemudian mereka lanjutkan.
Dalam perjalanan mereka bertemu orang keempat.
“Dasar manusia tidak tahu peri kehewanan. Tidak punya rasa belas kasihan. Masak kuda kurus begitu dinakiki dua orang. Benar-benar manusia biadab” kata orang keempat.
Begitulah dalam hidup ini . Apapun yang kita lakukan tetap ana pro kontra. Tetap ada yang berpedapat berbeda. Punya sudut pandang yang tidak sama dengan kita. Kita tidak mungkin dapat memenuhi semua saran orang. Makanya yang penting bila kita mendapat kritik atau sarang jangan langsung diterima tetapi kaji dahulu. Bila lebih baik bisa kita laksanakan bila tidak maka tidak perlu kita laksanakan. Kita harus punya prinsip. Tanpa prinsip maka kita seperti sang bapak dalam cerita yang kebingungan.
“Faidza azzamta wa tawakal alaallah” begitu kata Al Qur’an (saya lupa
Kita juga tidak boleh menutup telinga dari saran. Soalnya saya (penulis) punya teman yang telalu percaya diri dan tidak mau terima saran. Akibatnya sangat bruruk. Orang tersebut tidak bisa berkembang menjadi lebih baik. Perlu diingat nabi kita tercinta, Muhammad SAW juga mau menerima saran para sahabatnya. Dalam sejarah/sirah Nabi diceritakan menerima pendapat Salman Al Farisi intuk membuat khandag atau parit untuk menghambat laju pasukan koalisi Quraisyi dalam perang Ahzab atau perang khandag. Parit adalah metode perang yang kurang dikenal di negeri arab tetapi sering dipakai bangsa
Orang yang selalu menerima dan melaksanakan saran orang akan kebingungan. Sedang orang yang tidak mau menerima saran berarti sombong. Ingat kesombongan bukan pakaian mahluk tetapi pakaian kebesaran Tuhan, Allah SWT. Mahluk yang sombong adalah iblis laknatullah alahi. Makanya iblis dan sekutunya jauh dari rahmat Allah swt. Surga diharamkan bagi orang-orang yang sombong. Nerakalah tempatnya yang pantas. Naudzu billah min dalik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar