Cari Blog Ini

Senin, 23 Agustus 2010

Takbir Cinta Zahrana

Takbir Cinta Zahrana
Habiburrahman El Shirazy

Ini salah satu novel karya Habiburrahman El Shirazy yang kadang dipanggil Kang Abik. Novel ini berkisah tentang seoarng wanita bernama Zahrana yang berada di persimpangan dan dalam kegalauan antara karier dan cinta atau keluarga. Antara kesuksesan dan kebahagiaan. Berikut prolog cerita ini diawali.

Matanya berkaca-kaca. Kalau tidak ada kekuatan iman dalam dada ia mungkin telah memilih sirna dari dunia.
Ujian yang ia derita sangat berbeda dengan orangorang seusianya. Banyak yang memandangnya sukses.
Hidup berkecukupan. Punya pekerjaan yang terhormat dan bisa dibanggakan. Bagaimana tidak, ia mampu meraih gelar master teknik dari sebuah institute teknologi paling bergengsi di negeri ini. Dan kini ia dipercaya duduk dalam jajaran pengajar tetap di universitas swasta terkemuka di ibukota Propinsi Jawa Tengah: Semarang.
Tidak hanya itu, ia juga pernah mendapatkan penghargaan sebagai dosen paling berdedikasi di kampusnya. Ia sangat disegani oleh sesama dosen dan dicintai oleh mahasiswanya. Ia juga disayang oleh keluarga dan para tetangganya. Bagi perempuan seusianya, nyaris tidak ada yang kurang pada dirinya.
Sudah berapa kali ia mendengar pujian tentang kesuksesannya. Hanya ia seorang yang tahu bahwa sejatinya ia sangat menderita.
Ada satu hal yang ia tangisi setiap malam. Setiap kali bermunajat kepada Sang Pencipta siang dan malam. Ia menangisi takdirnya yang belum juga berubah. Takdir sebagai perawan tua yang belum juga menemukan jodohnya. Dalam keseharian ia tampak biasa dan ceria.
Ia bisa menyembunyikan derita dan sedihnya dengan sikap tenangnya.
Ia terkadang menyalahkan dirinya sendir kenapa tidak menikah sejak masih duduk di S.l dahulu? Kenapa tidak berani menikah ketika si Gugun yang mati-matian mencintainya sejak duduk di bangku kuliah itu mengajaknya menikah?
Ia dulu memandang remeh Gugun. Ia menganggap Gugun itu tidak cerdas dan tipe lelaki kerdil. Sekarang si Gugun itu sudah sukses jadi pengusaha cor logam dan baja di Klaten. Karyawannya banyak dan anaknya sudah tiga. Gugun sekarang juga punya usaha Travel Umroh di Jakarta. Setiap kali bertemu, nyaris ia tidak berani mengangkat muka.
Kenapa juga ketika selesai S.l ia tidak langsung menikah? Kenapa ia lebih tertantang masuk S.2 di ITB Bandung? Padahal saat itu, temannya satu angkatan si Yuyun menawarkan kakaknya yang sudah buka kios pakaian dalam di Pasar Bringharjo Jogja. Saat itu kenapa ia begitu tinggi hati. Ia masih memandang rendah pekerjaan jualan pakaian dalam. Sekarang kakaknya Yuyun sudah punya toko pakaian dan sepatu yang lumayan besar di Jogja. Akhirnya ia menikah dengan seorang santriwati dari Pesantren Al Munawwir, Krapyak.
Dan sekarang telah membuka SDIT di Sleman. Apa sebetulnya yang ia kejar? Kenapa waktu itu ia tidak juga cepat dewasa dan menyadari bahwa hidup iniberproses.
Ia meneteskan airmata. Dulu banyak mutiara yang datang kepadanya ia tolak tanpa pertimbangan. Dan kini mutiara itu tidak lagi datang. Kalau pun ada seolah-olah sudah tidak lagi tersedia untuknya. Hanya bebatuan dan sampah yang kini banyak datang dan membuatnya menderita batin yang cukup dalam.
Matanya berkaca-kaca. Ketika ia sadar harus rendah hati. Ketika ia sadar prestasi sejati tidaklah semata-mata prestasi akademik. Ketika ia sadar dan ingin mencari pendamping hidup yang baik. Baik bagi dirinya dan juga bagi anak-anaknya kelak. Ketika ia sadar dan
ingin menjadi Muslimah seutuhnya. Ketika ia menyadari, semua yang ia temui kini, adalah jalan terjal yang panjang yang menguji kesabarannya.
Umurnya sudah tidak muda lagi. Tiga puluh empat tahun. Teman-teman seusianya sudah ada yang memiliki anak dua, tiga, empat, bahkan ada yang lima. Adik-adik tingkatnya, bahkan mahasiswi yang ia bombing skripsinya sudah banyak yang nikah. Sudah tidak
terhitung berapa kali ia menghadiri pernikahan mahasiswinya. Dan ia selalu hanya bisa menangis iri menyaksikan mereka berhasil menyempurnakan separo agamanya.
Hari ini ia kembali diuji. Seseorang akan datang. Datang kepada orangtuanya untuk meminangnya. Ia masih bimbang harus memutuskan apa nanti. Ia sudah sangat tahu siapa yang akan datang. Dan sebenarnya ia juga sudah tahu apa yang harus ia putuskan. Meskipun pahit ia merasa masih akan bersabar meniti jalan terjal dan panjang sampai ia menemukan mutiara yang ia harapkan. Tapi bagaimana ia harus kembali memberikan pemahaman kepada ayah-ibunya yang sudah mulai renta?
Hand phone-nya berdering. Dengan berat ia angkat, "Zahrana?" Suara yang sangat ia kenal. Suara Bu Merlin, atasannya di kampus. Bu Merlin, ataulengkapnya Ir. Merlin Siregar M.T., adalah Pembantu Dekan I. Ia orang kepercayaan Pak Karman. Sejak SMA ia di Semarang, jadi logat Bataknya nyaris hilang. Bahasa Jawanya bisa dibilang halus.
"Iya Bu Merlin." Jawabnya dengan airmata menetes di pipinya.
"Saya dan rombongan Pak Karman sudah sampai Pedurungan. Dua puluh menit lagi sampai."
"Iya Bu Merlin." Jawabnya hambar, dengan suara serak.
"Suaramu kok sepertinya serak. Sudahlah Rana, bukalah hatimu kali ini. Pak Karman memiliki apa yang diinginkan perempuan. Dia sungguh-sungguh berkenan
menginginkanmu."
"Iya Bu Merlin, semoga keputusan yang terbaik nanti bisa saya berikan."
"Baguslah kalau begitu. Gitu dulu ya. O ya jangan lupa dandan yang cantik." Klik. Tanpa salam.
Kali ini yang datang melamarnya bukan orang sembarangan. Pak H. Sukarman, M.Sc., Dekan Fakultas Teknik, orang nomor satu di fakultas tempat dia mengajar. Duda berumur lima puluh lima tahun. Status dan umur baginya tidak masalah. Sudah bertitel haji.
Kredibilitas intelektualnya tidak diragukan. Materi tak usah ditanyakan. Di Semarang saja ia punya tiga pom bensin. Namun soal kredibilitas moralnya, susah Zahrana untuk memaafkannya. Repotnya, jika ia menolak ia sangat susah untuk menjelaskan. Ia harus
berkata bagaimana.
Ia telah membicarakan hal ini pada kedua sahabat karibnya. Si Lina, yang kini jualan buku-buku Islami di Tembalang. Dan si Wati yang kini jadi isteri lurah Tlogosari Kulon. Lina berpendapat untuk tidak mengambil risiko dengan menerima orang amoral seperti Pak Karman itu. Apapun titel dan jabatannya.
Moral adalah nyawa orang hidup. Jika moral itu hilang dari seseorang, ia ibarat mayat yang bergentayangan.
Itu pendapat Lina.
Sedangkan Wati lain lagi, menurutnya sudah saatnya ia tidak melangit. Mencari manusia setengah malaikat itu hal yang mustahil. Selama Pak Karman masih shalat dan puasa ya terima saja. Apalagi ia orang terpandang. Dan juga kesempatan seperti ini tidak selalu datang.
Terakhir Wati bilang, "Siapa tahu dengan menikah denganmu, Pak Karman berubah. Dan di hari tuanya ia sepenuhnya membaktikan umurnya untuk kebaikan.
Bukankah itu bagian dari dakwah yang agung pahalanya?"
Ia belum bisa mengambil keputusan. Kata-kata Wati selalu terngiang-ngiang di telinganya. Ia nyaris memutuskan untuk menerima saja lamaran Pak Karman.
Namun jika ia teringat apa yang dilakukan Pak Karman pada beberapa mahasiswi yang dikencaninya diam-diam, ia tak mungkin memaafkan. Jika sudah demikian tiba-tiba wajah keriput kedua orangtuanya muncul dengan sebuah pertanyaan, "Kowe mikir opo Nduk?
Kowe ngenteni opo? Dadine kapan kowe kawin, Nduk?"
Ingin tahu kelanjutn cerita ini. Anda bias beli di took buku terdekat atau Anda bias download di sini. Klik di sini!

Posting by Mohammad Nurdin

3 komentar:

  1. INI JUDUL FILM.A YA?
    SAYA KIRA SAMA DGN NOVEL.A
    TAPI GAK APA APA
    SEMOGA SUKSES DAN HASILNYA BAGUS SPRTI NOVEL.A
    AMINNNNNNNN

    BalasHapus
  2. assalamu'alaikum...
    apakah ini judul film dari novel cinta suci zahrana?
    apakah sama sprti novelnya?

    BalasHapus
  3. Kalau yang saya masukkan adalah murni dari novel yaitu novelnya Kang Abik (Habiburahman el shirazy). Kalau filmnya saya kurang tahu. Yang saya tahu banyak karya beliau yang dibuat Film bahkan ada yang menjadi Sinetron.
    Terima kasih.

    BalasHapus