Cari Blog Ini

Senin, 12 Maret 2012

MUHAMMAD DALAM PERJANJIAN BARU - PARACLETE" BUKAN RUH SUCI

BAB 17. "PARACLETE" BUKAN RUH SUCI

Dalam artikel ini kita sekarang dapat membicarakan tentang "Paraclete" yang terkenal dari Injil Keempat (Yohanes). Jesus Kristus seperti halnya Yahya, mengumumkan bangkitnya Kerajaan Tuhan, mengundang orang-orang untuk melakukan pertobatan dosa, dan membaptis mereka untuk menghapuskan dosa-dosa mereka. Dengan terhormat beliau menyelesaikan tugasnya, dan dengan setia menyampaikan wasiyat Tuhan kepada orang Israel. Beliau sendiri bukanlah pendiri Kerajaan Tuhan itu, namun hanya seorang bentara, dan karena itu beliau tidak menuliskan apapun dan tidak pula memberi perintah kepada seorangpun untuk menulis Kitab Suci Injil yang telah terpateri dalam jiwanya. Beliau mengungkapkan Injil yang berarti "berita baik" tentang "Kerajaan Tuhan" dan "Pereiklitos" kepada para pengikutnya, tidak dalam bentuk tertulis, tetapi dalam bentuk ceramah lisan, dan dalam khotbah kepada umum.
Khotbah-khotbah ini beserta ceritera-ceritera itu oleh orang-orang yang pernah mendengarnya diteruskan kepada mereka yang belum mendengarnya. Barulah kemudian bahwa perkataan dan ajaran-ajaran Sang Guru itu dituliskan. Jesus bukan lagi seorang Rabbi, tetapi suatu Logos - Kalimat Yang Suci; bukan lagi seorang pendahulu dari Paraklete namun sudah sebagai Tuhannya dan Superiornya ("nya" disini menunjuk kepada Parakaklete - Pent.).

Perkataannya yang murni dan sebenarnya telah dipalsukan dan dicampur adukkan dengan mitos dan legenda. Untuk sesaat beliau diharapkan setiap saat turun dari awan disertai dengan barisan malaikat. Semua apostel telah meninggal; kedatangan Jesus Kristus untuk kedua kalinya tertunda. Pribadi dan doktrinnya telah menimbulkan berbagai spekulasi keagamaan dan falsafi. Sekte-sekte saling bergantian; Injil dan Epistle dengan berbagai nama dan judul yang berbeda bermunculan di banyak pusat-pusat kegiatan; dan banyak pakar agama Kristen serta kaum apologist saling membasmi dan mengritik masing-masing teori mereka.

Seandainya ada Kitab Injil yang ditulis selama masa Jesus, atau bahkan sebuah Kitab yang disahkan oleh Kumpulan Para Apostel, maka ajaran Nabi dari Nazareth ini pasti telah mengamankan kemurnian dan integritas mereka hingga saat tibanya "Periqlit" - Ahmad. Sayang hal itu bukanlah masalahnya. Setiap penulis mengambil pandangan yang berbeda tentang Sang Guru dan agamanya, dan melukiskannya dalam bukunya - yang dia sebut Injil atau Epistle - sesuai dengan khayalannya sendiri. Pemikiran yang meruyak banyak tentang Kalimat; ramalan tentang Periqlit; khotbah Jesus yang tidak terjelaskan atas daging dan darahnya; dan sejumlah serial beberapa keajaiban, peristiwa, dan perkataan yang tercatat dalam Injil Keempat tidaklah dikenal oleh Synoptic dan dengan sendirinya juga bagi sebagian besar ummat Kristen yang tidak telah melihatnya setidak-tidaknya selama beberapa abad.

Injil Keempat seperti buku-buku lainnya, juga telah ditulis dalam bahasa Yunani dan tidak dalam bahasa Aramiah, yang adalah bahasa lidah Jesus dan para pengikutnya. Dengan sendirinya sekali lagi kita dihadapkan kepada kesulitan yang sama yang kita jumpai ketika kita membicarakan "Eudokia" dari St Lukas, yaitu: "Kata atau nama apa yang dipakai Jesus dalam bahasanya sendiri untuk menyatakan apa yang disebut oleh Injil Keempat sebagai "Paraclete" dan yang telah diterjemahkan sebagai "penghibur" "penolong" ("comforter", "consoler") dalam semua versi Injil?

Sebelum membicarakan mengenani etimologi dan arti sesungguhnya dari bentuk Paraclete yang tidak klasikal atau telah dikorupsi ini, adalah perlu untuk membuat pengamatan singkat atas satu ciri dari Injil Yohanes. Hal kepengarangan serta otentik tidaknya Injil ini adalah persoalan yang menyangkut Higher Biblical Criticism; tetapi tidak mungkin untuk percaya bahwa Apostel telah menulis kitab ini seperti kita jumpai dalam bentuk dan isinya yang seperti sekarang ini. Penulisnya, apakah itu Yohannan (John) anak Zebedee, atau seorang lain yang bernama itu, tampaknya akrab dengan doktrin dari pakar Yahudi yang terkenal dan ahli falsafah Philon mengenai Logos atau Firman.

Sangat terkenal bahwa penaklukan Palestina dan berdirinya Alexandria oleh Alexander Agung untuk pertama kalinya telah membuka epoch baru bagi kebudayaan dan peradaban. Pada saat itulah bahwa pengikut Musa bertemu dengan pengikut Epicurus, dan terjadilah dampak besar dari doktrin spiritual Injil terhadap materialisme dari keberhalaan (paganism) Yunani. Seni dan falsafah Yunani mulai dikagumi dan dipelajari oleh pakar-pakar hukum bangsa Yahudi di Palestina maupun di Mesir, di mana terdapat masyarakat Yahudi yang sangat banyak di kedua tempat itu. Penetrasi alam fikiran dan belles-lettres Yunani ke dalam mazhab Yahudi menyadarkan pendeta-pendeta dan orang-orang terpelajar Yahudi akan bahayanya. Dalam kenyataannya, bahasa Ibrani sangat diabaikan sehingga Kitab Suci itu dibaca di sinagog-sinagog Alexandria dalam versi Septuagint (Injil dalam bahasa Yunani). Tetapi invasi oleh ilmu pengetahuan asing ini menggerakkan orang Yahudi untuk lebih baik mempelajari hukum mereka sendiri, dan mempertahankannya terhadap spirit baru yang tidak menguntungkan itu. Karena itu mereka berusaha untuk menemukan cara baru untuk menafsirkan Injil agar kemungkinan adanya "rapproachment" (penyesuaian) dan rekonsiliasi kebenaran Injil dengan alam fikiran Hellenisme dapat diberdayakan. Karena cara lama mereka yaitu tafsir harafiah dari hukum dirasakan tidak bisa dipergunakan dan terlalu lemah terhadap penalaran yang halus dari Plato dan Aristoteles. Pada saat yang sama kegiatan orang-orang Yahudi yang padat dan ketaatan mereka terhadap agamanya yang menonjol sering membangkitkan di dalam dirinya rasa iri dan benci kepada orang Yunani. pada masa kekuasaan Alexander, seorang pendeta Mesir, Manetho, telah menulis yang berisi fitnah terhadap Judaisme (agama orang Yahdui). Di bawah Tiberius juga, orator besar Apion menghidupkan kembali dan meracuni dengan hinaan-hinaan dari Manetho. Dengan demikian tulisan-tulisan itu telah meracuni orang-orang kemudian yang menindas dengan kejam orang-orang yang beriman akan Satu Tuhan yang sesungguhnya.

Metode baru itu diketemukan sesuai dengan yang diinginkan dan diterapkan. Metode itu adalah sebuah cara penafsiran alegoris atas setiap hukum, aksioma, narasi dan bahkan nama-nama dari pribadi-pribadi besar dipertimbangkan untuk menyembunyikan di dalamnya sebuah gagasan rahasia yang mereka upayakan untuk mewujudkannya. Cara penafsiran alegoris ini segera menyombongkan diri pada tempat Injil, dan seperti halnya sebuah amplop yang membungkus di dalamnya suatu sistim falsafah keagamaan.

Nah kini orang yang paling terkemuka yang mempersonifikasikan ilmu pengetahuan ini ialah Philon, yang dilahirkan dari keluarga Yahudi yang kaya di Alexandria dalam tahun 25 sebelum Masehi.

Mengenal dengan baik falsafah Plato, dia menulis karya alegoris gaya Yunani yang murni dan serasi. Dia percaya bahwa doktrin tentang Wahyu dapat bersesuaian dengan ilmu dan kebijakan insani yang tertinggi. Apa yang terutama telah ada dalam benaknya adalah gejala tentang perbuatan Tuhan, Ruh murni, dengan mahluk bumi. Dengan mengikuti teori Plato tentang "gagasan" dia menanamkan suatu serial gagasan antara yang dia sebut sebagai "Pancaran Kesucian" yang dia ubah menjadi sudut-sudut yang mempersatukan Tuhan dengan dunia. Substansi dasar dari gagasan-gagasan ini, Logos atau Firman, membentuk kebijakan adi (supreme) yang diciptakan di dunia dan pernyataan tertinggi dari perbuatan yang menguntungkan.

Mazhab Alexandria mengikuti kejayaan Judaisme atas Paganisme. "Namun" seperti dicatat dengan benar oleh Rabbi Besar Paul Hagenauer dalam buku kecilnya yang menarik "Manuel de Litterature luive" (halaman 24): "mais d'elle surgirent, plus tard, des systemes nuisibles Li l'hebraisme" benarlah sistim yang berbahaya, bukan saja bagi Judaisme tetapi bagi agama Kristen juga!

Asal usul doktrin Logos dilacak karenanya, ke falsafah Philon, dan apostel Yohanes atau pengarang dari Injil Keempat, siapapun dia itu - hanya mendogmatisir teori "gagasan" yang telah timbul pertama kali dari otak emas Plato. Seperti telah dicatat dalam artikel pertama dari serial ini, Firman Suci itu berarti Firman Tuhan, dan bukan Tuhan itu Firman. Kalimat atau perkataan adalah sebuah atribut dari mahluk rasional; itu bisa milik pembicara yang manapun, tetapi itu bukanlah mahluk rasional, si pembicara.

Kalimat Suci tidaklah abadi, kalimat itu mempunyai asal usul, suatu permulaan; kalimat itu tidak ada sebelum ada permulaan kecuali hanya sebatas potensial. Kalimat itu bukan sebuah esensi atau inti. Adalah merupakan kesalahan yang serius untuk merubah atribut yang manapun menjadi suatu substansi. Jikalau diizinkan untuk berkata: "Tuhan itu Firman" mengapa tidak diperbolehkan untuk berkata: Tuhan itu Rahim, Tuhan itu Cinta, Tuhan itu Pembalas (Pemberi azab), Tuhan itu Kehidupan, Tuhan itu Kekuasaan, dan sebagainya? Saya dapat mengerti dan menerima dengan baik sebutan bagi Jesus "Ruh Tuhan" (Ruhu 'l-Lah), bagi Musa "Kalimat Allah" (Kalamu 'l-Lah), bagi Muhammad "Utusan Allah" (Rasul Allah), yang berarti Ruh Tuhan, Firman Tuhan dan Utusan Tuhan. Namun saya tidak pernah bisa mengerti ataupun menerima bahwa Ruh, atau Firman, atau Utusan itu adalah suatu Pribadi Suci yang memiliki sifat suci dan sifat manusiawi.

Sekarang kita akan melanjutkan untuk menghadirkan dan mencari jawaban final atas kesalahan agama Kristen tentang Paraclete. Dalam artikel ini saya akan mencoba untuk membuktikan bahwa Paraclete bukanlah Ruh Suci ataupun "penghibur" (comforter, consoler) atau "perantara" (intercessor) sebagaimana orang-orang Kristen dan gereja meyakininya, dan dalam artikel berikut ini semoga Tuhan mengizinkan, saya akan menunjukkan dengan jelas bahwa bukanlah "Paraclete" tetapi "Periclyte" yang dengan tepat berarti "Ahmad" dalam pengertian "Yang Sangat Terkenal, Yang Terpuji, dan Dihormati."

1. RUH SUCI DIGAMBARKAN DALAM PERJANJIAN BARU SEBAGAI TIDAK LAIN SELAIN DARIPADA SEORANG PRIBADI
Penelitian dengan hati-hati dari pasal-pasal berikut dalam Perjanjian Baru akan meyakinkan para pembaca bahwa Ruh Suci, bukan saja itu bukan orang ketiga dalam Trinitas, tetapi bahkan bukan seorang yang berbeda sama sekali. Namun "Paraclete" yang diramalkan oleh Jesus adalah seorang lain yang berbeda. Perbedaan mendasar antara dua pribadi itu karenanya adalah sebuah alasan yang menentukan atas hipotese mereka bahwa Paraclete dan Ruh Suci itu menyatu dan pibadi yang sama.

a. Dalam Lukas xi.13 Ruh Suci itu dinyatakan sebagai sebuah "karunia" Tuhan ( a gift of God). Perbedaan antara "karunia yang baik" yang diberikan oleh orang tua yang jahat dan Ruh Suci yang dilimpahkan kepada orang-orang beriman oleh Tuhan sama sekali mengecualikan (sama sekali tidak menyinggung) gagasan tentang kepribadian suatu Ruh yang manapun. Dapatkah kita dengan sadar dan positif menegaskan bahwa Jesus Kristus pada saat menceriterakan tentang perbedaan itu, bermaksud untuk mengajarkan kepada para pendengarnya bahwa "Tuhan Bapa" memberikan karunia "Tuhan Ruh Suci" kepada "anak-anakNya" yang mahluk bumi? Pernahkah beliau menginsinuasikan bahwa beliau percaya bahwa orang ketiga dalam Trinitas sebagai karunia dari orang pertama dalam Trinitas? Dapatkah kita dengan sadar mengakui bahwa para Apostel itu percaya bahwa "karunia" ini adalah Tuhan Yang Maha Kuasa yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa kepada mahluk yang bersifat tidak abadi? Gagasan atas keyakinan yang demikian itu menjadikan orang Muslim merasa jijik dan tidak menyukainya. 

b. Dalam 1 Korintian ii. 12 Ruh Suci ini digambarkan sebagai dalam kasus gender "netral" (bukan pria bukan wanita) "Ruh dari Tuhan". Paul dengan jelas menyebutkan bahwa sebagai suatu Ruh yang dalam diri manusia menjadikannya dia mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan dirinya sehingga Ruh Tuhan membuat seorang manusia mengetahui hal-hal yang suci (1 Korintian 11).

Dengan sendirinya Ruh Suci di sini bukan Tuhan tetapi suatu perkara, saluran, atau perantara yang suci melalui mana Tuhan mengajar, mencerahkan, dan memberikan inspirasi mereka yang Dia kehendaki. Hal itu semata-mata adalah suatu karya Tuhan terhadap jiwa dan ruh manusia. Seperti halnya - falsafah Plato bukanlah Plato itu sendiri, dan Philon yang Platonist itu bukan pencipta dari kebijakan khusus itu, jadi Peter bukanlah Tuhan karena pencerahannya disebabkan oleh Ruh Tuhan. Dengan jelas Paul meneruskan dalam pasal yang telah disebut, bahwa jiwa manusia tidak dapat memahami kebenaran mengenai Tuhan tetapi hanya melalui Ruh-Nya, inspirasi dan petunjuk (direction).
 
c. Sekali lagi dalam 1 Korintian vi. 19 kita baca bahwa hamba Tuhan yang lurus disebut sebagai "rumah dari Ruh Suci" (the temple of the Holy Spirit) yang "mereka terima dariTuhan." Di sini sekali lagi Ruh Tuhan itu tidak ditunjukkan sebagai suatu pribadi atau malaikat, tetapi kebaikanNya, firmanNya, atau kekuasaan dan agama. Tubuh dan jiwa orang beriman yang lurus dibandingkan dengan sebuah rumah yang diabdikan untuk menyembah Yang Maha Abadi.
 
d. Dalam Epistle kepada orang Romawi (Roma viii. 9) ruh yang sama yang "hidup" di dalam diri orang-orang beriman disebut secara bergantian sebagai "Ruh Tuhan" dan "Ruh Kristus." Dalam pasal ini "Ruh" itu hanyalah berarti suatu keyakinan dan agama sejati Tuhan yang didakwahkan oleh Jesus. Tentu saja ruh ini tidak dapat berarti sebagai suatu ideal orang Kristen tentang Ruh Suci (Holy Ghost), yaitu ketiga yang lain dari yang tiga.

Kita orang-orang Muslim selalu ingin dan bermaksud untuk mengatur hidup dan tingkah laku kita sesuai dengan semangat Nabi Muhammad saw, yang berarti bahwa kita bersikap mantap untuk tetap setia kepada agama Allah dengan cara yang sebanyak mungkin sama dengan cara yang dilakukan oleh Nabi Terakhir saw. Karena Ruh Suci yang ada dalam diri Nabi Muhammad saw, Nabi Jesus, dan dalam setiap diri Nabi tidak lain ialah Ruh Allah swt! Untuk membedakannya dari ruh setan dan kawannya yang tidak murni dan jahat, Ruh ini disebut "suci". Ruh itu bukan pribadi yang suci, tetapi sebuah sinar suci yang mencerahkan dan memberkati hamba Tuhan. 

e. Formula Injil "Atas nama Bapa, dan Anak, dan Ruh Suci," bahkan sekalipun itu otentik dan benar diberikan oleh Kristus, mungkin secara sah diterima sebagai suatu formula keyakinan sebelum bangkitnya secara resmi agama Islam, yang adalah Kerajaan Tuhan di muka bumi. Tuhan Yang Kuasa dalam kualitasNya sebagai Pencipta adalah Ayah dari semua mahluk, benda, kecerdasan, tetapi bukan Ayah dari seorang anak yang khusus. Para orientalis mengetahui bahwa kata dalam bahasa Semit "abb" atau "abba" yang diterjemahkan sebagai "bapa," berarti "seorang yang membawa ke depan, atau yang membawa buah" ("ibba"=buah). Arti kata ini sangat jelas dan penggunaannya cukup sah. Berulang kali Injil menggunakan sebutan "Bapa." Di dalam Injil Tuhan berfirman: "Israel ialah anak laki-laki-Ku yang pertama lahir"; dan dalam kitab Ayyub, Dia disebut "bapa dari hujan." Karena penyalahgunaan Sebutan Suci dari Sang Pencipta oleh agama Kristen inilah maka Al Qur'an menahan diri untuk menggunakannya.

Dari sudut pandang murni seorang Muslim, dogma Kristen yang menyangkut kelahiran abadi atau kebangkitan Anak adalah sebuah penghujatan. Apakah formula pembaptisan Kristen itu otentik atau palsu, saya percaya di situ ada kebenaran yang tersembunyi di dalamnya. Karena haruslah diakui bahwa para Penyiar Injil (evangelist) tidak pernah memberikan otorisasi penggunaan formula itu dalam ritual, do'a atau kebaktian lainnya selain daripada ritual pembabtisan. Soal ini adalah sangat penting.

Yahya telah meramalkan adanya pembaptisan dengan Ruh Suci dan api oleh Nabi Muhammad saw, seperti telah kita lihat dalam artikel sebelum ini. Pembaptis yang dekat atau segera itu tidak lainTuhan sendiri, dan yang menengah ialah Anak Manusia atau Bar Nasha dalam visi Nabi Daniel, betul-betul sempurna adil dan sah untuk menyebutkan kedua nama itu sebagai penyebab yang pertama dan kedua; dan nama Ruh Suci juga sebagai causa materialis dari Sibghatullah! Nah, Sebutan Suci "Bapa," sebelum penyalah gunaannya oleh gereja, dengan tepat diterapkan. Sebenarnya bahwa Sibghatullah adalah suatu kelahiran baru, kelahiran Al Masih (nativity) (1) ke dalam Kerajaan Tuhan yang adalah Islam.

Catatan Penterjemah : (1) kata nativity itu berarti "kelahiran Jesus Kristus", tetapi menurut pengertian penterjemah, dalam hubungan kalimat di sini kata itu dipakai secara kiasan, karena itu penterjemah memilih kata Al Masih dalam arti Al Masih identik dengan Islam. Bahwa orang yang sudah "dibaptis" dengan sighatullah menjadi seperti mengalami kelahiran, dan sibghatullah itu telah menyelematkannya. Akhir CatatanPembaptis yang menyebabkan regenerasi ini ialah Allah Sendiri secara langsung. Dilahirkan dalam agama Islam, dibekali dengan keyakinan pada Tuhan Sejati, adalah sebuah kemurahan dan karunia terbesar dari "Bapa Yang Ada Di Sorga" untuk menggunakan ungkapan seperti biasa dinyatakan oleh para penyiar Injil. Dalam hubungan ini Tuhan dengan tanpa batas sama sekali lebih bermurah daripada bapa di bumi. Mengenai nama kedua dalam formula "Anak," orang sama sekali tidak tahu siapa atau apa "anak" itu. Jikalau Tuhan dengan benar disebut "Bapa," maka orang menjadi ingin tahu, ingin bertanya dan bergairah untuk mengetahui, yang mana dari antara "anak-anak" Nya yang dimaksudkan dalam formula pembaptisan itu. Jesus mengajar kita untuk berdo'a: "Bapa kami yang ada di sorga." Kalau kita semua ini adalah anak-anakNya dalam arti mahlukNya, maka penyebutan kata "anak" dalam formula bagaimanapun menjadi tidak berarti dan bahkan tidak masuk akal. Kita tahu bahwa nama "Anak Manusia" atau "Bar Nasha" disebut sebanyak delapan puluh tiga kali dalam ceramah Jesus. Al Qur'an tidak pernah menyebut Jesus sebagai "anak manusia" tetapi selalu "anak Maryam." Beliau tidak mungkin menyebut dirinya sendiri "anak manusia" karena beliau hanyalah "anak seorang wanita." Tidak ada jalan untuk lari dari kenyataan ini. Anda boleh saja menjadikannya sebagai "anak Tuhan" seperti telah anda lakukan, tetapi anda tidak dapat membuatnya "anak manusia" kecuali jika anda percaya bahwa beliau adalah anak keturunan Yusuf atau seseorang lainnya, dan dengan demikian anda menetapkan bagi beliau cacad sebagai anak tidak sah. Saya tidak tahu dengan tepat bagaimana, apakah melalui intuisi, inspirasi, atau mimpi, saya diajar dan menjadi yakin bahwa nama kedua dalam formula itu adalah sebuah pengkorupsian yang jelek dari "Anak Manusia" yaitu "Bar Nasha" dari Nabi Daniel (vii.), dan karenanya Ahmad "Periclytos" (Paraclete) dari Injil St Yohanes. Mengenai Ruh Suci dalam formula, itu bukan suatu pribadi atau suatu ruh individual, tetapi suatu agency, kekuatan, enerji Tuhan dengan mana seorang manusia dilahirkan atau diubah ke dalam agama dan pengetahun dari Satu Tuhan.

2. APA KATA ROMO PENDETA-PENDETA NASHARA (KRISTEN) MASA AWAL MENGENAI RUH SUCI.

a. Hermas (Similitude v, 5, 6) memahami "Ruh Suci" sebagai unsur suci yang ada dalam diri Kristus, yaitu Anak yang diciptakan sebelum semua hal. Tanpa memasuki pembicaraan yang tak berguna atau yang tak mempunyai arti apakah Hermas mencampur adukkan Ruh Suci dengan Firman, atau bahwa itu adalah suatu unsur berbeda milik Kristus, diakui bahwa unsur berbeda milik Kristus itu telah diciptakan sebelum semua hal - yaitu pada masa awal - dan bahwa Ruh dalam keyakinan Hermas itu bukan seorang pribadi. 

b. Justin - disebut "Syuhada" (100?-167? M) dan Theophilus (120?-180?) memahami Ruh Suci kadangkala sebagai bentuk yang aneh atas manifestasi Firman dan kadangkala sebagai atribut yang suci, tetapi tidak pernah sebagai seorang pribadi yang suci. Haruslah diingat bahwa dua orang Romo dan penulis Yunani dari abad kedua Masehi ini tidak memiliki pengetahuan dan keyakinan yang definitif tentang Ruh Suci dari Trinitas dari abad keempat dan seterusnya. 

c. Athenagoras (110-180M) mengatakan Ruh Suci ialah sebuah pancaran Tuhan yang berasal dan kembali kepadaNya seperti sinar matahari (Deprecatio pro Christiarus, ix, x.). Irenaeus (130?-202? M) mengatakan bahwa Ruh Suci dan Anak adalah dua penyembah Tuhan dan bahwa malaikat tunduk kepada mereka. Jurang perbedaan yang lebar antara keyakinan dan konsepsi dari dua orang Romo masa awal tentang Ruh Suci ini terlalu jelas memerlukan komentar lebih lanjut. Mengherankan bahwa dua orang penyembah Tuhan itu, sesuai dengan pernyataan otoritas semacam Irenaeus itu, dua abad kemudian harus diangkat pada derajat ketinggian Tuhan dan dua pribadi suci itu dinyatakan bersekutu dengan Tuhan Satu yang sejati yang telah menciptakan kedua orang penyembah Tuhan itu. 

d. Origen (185-254 M) merupakan yang paling terkenal dan terpelajar di antara semua Romo sebelum masa Nicea (ante-Nicene) dan para apologist Kristen. Pengarang Hexepla menggambarkan Ruh Suci sebagai memiliki kepribadian, tetapi menjadikannya sebagai mahluk dari Anak. Penciptaan Ruh Suci oleh Anak tidak bisa terjadi pada awal waktu ketika Firman -atau Anak - diciptakan oleh Tuhan. Doktrin yang berkenaan dengan Ruh Suci ini tidak cukup dikembangkan dalam tahun 325 M, dan karenanya tidak dibuatkan definisi oleh Konsili Nicea. Baru dalam tahun 386 M pada Konsili Ekumenikal di Konstantinopel bahwa Ruh Suci itu dinyatakan sebagai pribadi ketiga dalam Trinitas, memiliki kosubstansi dan koeval (berbagi substansi dan waktu) dengan Bapa dan Anak.

3. "PARACLETE" TIDAK BERARTI BAIK "PENGHIBUR" MAUPUN "PERANTARA";
sebenarnya itu sama sekali bukan sebuah kata klasikal.
Ortografi Yunani dari kata itu ialah Paraklytos yang dalam literatur eklesiastikal dibuat untuk berarti "seorang yang dipanggil untuk membantu (aid), menyokong (advocate), perantara (intercessor)" (Kamus Grec.-Francais, oleh Alexander). Seseorang tidak perlu mengaku sebagai seorang pakar Yunani untuk mengetahui bahwa kata Yunani untuk "penghibur" atau "penolong" (comforter atau consoler) bukan "Paraclytos" tetapi "Paracalon." Saya tidak memiliki Septuagint dalam versi Yunani, tetapi saya ingat dengan baik bahwa dalam bahasa Ibrani kata "penghibur" ("mnahem") dalam tangisan Jeremiah (I, 2, 9, 16, 17, 21, dsb.) diterjemahkan sebagai Parakaloon, dari kata kerja Parakaloo, yang berarti memanggil, mengundang, menganjurkan dengan sangat, menghibur, berdo'a, meminta. Harus dicatat bahwa ada sebuah huruf hidup alpha yang panjang sesudah huruf mati kappa dalam kata "Paracalon" yang tidak ada dalam "Paraclytos." Dalam ungkapan ("Dia yang menghibur kita dalam kesulitan kita") "paracalon" yang dipergunakan dan bukan "paraclytos." (Saya mengajak, atau mengundang, anda ke pekerjaan"). Banyak contoh lainnya yang dapat dikutip di sini.

Ada kata lain dalam bahasa Yunani untuk "penghibur" dan "penolong" ("comforter" dan "consoler") yaitu "Parygorytys" dari "I console."

Mengenai arti lain "perantara" atau "advokat' yang diberikan dalam kata eklesiastikal "Paraclete", sekali lagi saya mendesak bahwa "Paracalon," dan bukan Paraclytos," dapat menyampaikan sendiri suatu pengertian yang sama. Istilah yang pantas dalam bahasa Yunani untuk "advocate" adalah Sunegorus dan untuk "intercessor" atau "mediator" ialah Meditea.

Dalam artikel berikutnya saya akan memberikan bentuk dalam bahasa Yunani yang sebenarnya yang menunjukkan bahwa Paraklytos adalah sebuat korupsi. En passant, saya ingin membetulkan sebuah kesalahan yang savant Perancis Ernest Renan telah jatuh ke dalamnya. Jika kita mengingatnya dengan baik, Monsieur Renan, dalam bukunya yang terkenal "The Life of Christ" menterjemahkan "Paraclete" dari Yohanes (xiv. 16, 26; xv. 7; 1 Yohanes ii. 1) dengan "penganjur" ("advocate"). Dia mengutip bentuk Syria Kaldea untuk "Peraklit" sebagai lawan dari "Ktighra" "penuduh" dari Kategorus. Nama dalam bahasa Syria untuk perantara (mediator atau intercessor) adalah "mis'aaya," tetapi di dalam pengadilan hukum, kata "Snighra" (dari bahasa Yunani "Sunegorus") yang dipergunakan untuk seorang pengacara (advocate). Banyak orang Syria yang tidak faham dengan bahasa Yunani menganggap kata "Paraqlita" benar-benar bentuk kata dalam bahasa Aramiah atau Syria untuk "Paraclete" dalam versi Pshittha dan tersusun dari "Paraq," "untuk menyelamatkan dari" - "untuk mengeluarkan dari," serta "lita" "yang terkutuk." Gagasan bahwa Kristus adalah "Penyelamat dari kutukan hukum," dan karena itu beliau juga seorang "Paraqlita" (1 Yohanes ii. 1), mungkin telah menyebabkan beberapa orang untuk berpikir bahwa kata dalam bahasa Yunani itu aslinya adalah sebuah kata dalam bahasa Aramiah, persis seperti kalimat dalam bahasa Yunani "Maran atha" dalam bahasa Aramiah "Maran Athi," yaitu "Tuan kita sedang datang" ("our Lord is coming") (1 Yohanes xvi. 22) yang tampaknya menjadi sebuah ungkapan di antara orang-orang beriman tentang kedatangan Nabi Besar Terakhir. "Maran Athi" ini seperti halnya, terutama, formula pembaptisan, berisikan hal-hal yang terlalu penting untuk diabaikan. Keduanya pantas untuk dipelajari secara khusus dan penjelasan rinci yang berharga.

Keduanya mewujudkan ciri-ciri dan indikasi yang sebaliknya daripada menguntungkan agama Kristen.

Saya pikir saya sudah cukup membuktikan bahwa "Paraclytos" dari sudut pandang bahasa dan etimologi tidak berarti "penganjur," "penolong," "penghibur" (advocate, comforter, consoler). Selama berabad-abad orang Eropa dan Latin yang bodoh telah menulis nama Nabi Muhammad sebagai "Mahomet," "Mushi" untuk Nabi Musa. Karena itu, anehkah bila pendeta Kristen yang kekar atau seorang penulis telah menuliskan nama yang sejati dalam bentuk yang telah dikorupsi "Paraklytos? Yang terdahulu "Paraclytos" berarti "Yang terkenal, Yang terpuji," tetapi bentuk yang telah dikorupsi "Paraklytos" sama sekali tidak berarti apapun kecuali rasa malu yang terus menerus bagi mereka yang selama delapan belas abad telah memahaminya sebagai berarti seorang Penganjur (advocate) atau seorang Penolong (consoler).

bersambung ...

Diambil dari :
"WHAT EVERY CHRISTIAN AND JEW SHOULD KNOW"
Oleh :
PROFESOR DAVID BENJAMIN KELDANI, B.D.
Alih Bahasa Oleh :
H.W. Pienandoro SH

Sumber :
website milik HIRA AL KAHFI dengan alamat :
http://www.mosque.com/goodial.html

Versi CHM diambil dari situs :
http://www.pakdenono.com

Posting by Mohammad Nurdin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar