Cari Blog Ini

Senin, 12 Maret 2012

MUHAMMAD DALAM PERJANJIAN BARU - "EUDOKIA " BERARTI "AHMADIYEH"

BAB 12"EUDOKIA " BERARTI "AHMADIYEH"
(Lukas ii. 14)


Untuk menterjemahkan sebuah masterpiece dari seorang penulis terkemuka dari versi bahasa asing jika orang itu meninggalkan tulisan-tulisan lainnya tetapi dalam bahasanya sendiri, akan tidak sangat sulit. Karena dengan begitu penterjemah itu dapat mempelajari jiwa, alasan-alasan teknis, dan ungkapan-ungkapan dalam karyanya, dan berusaha sebaik mungkin menurut kemampuannya untuk menterjemahkan buku itu kembali ke dalam bahasa aslinya. Tetapi seberapa jauh dia akan berhasil adalah suatu masalah yang hanya seorang penterjemah yang berkemampuan dapat memutuskan dan menentukannya. Sama saja halnya, apabila ada paling tidak sepasang surat atau tulisan Santo Lukas dalam bahasa Ibrani, kitab Injilnya secara komparatif dapat diterjemahkan dengan lebih sedikit kesulitan ke dalam bahasa selain daripada apa yang kini sudah dapat dilakukan. Namun sayang bahwa hal sedemikian itu bukanlah masalahnya. Karena tiada apapun yang tersisa dari tulisan-tulisan kuno dalam bahasa yang dipakai Jesus dari mana Santo Lukas menterjemahkan lagu malaikat itu; juga dia sendiri tidak meninggalkan kepada kita sebuah kitab lain dalam dialek Semit.
Agar saya menjadi lebih baik dimengerti, dan agar para pembaca yang berbahasa Inggris lebih baik menghargai arti penting yang luar biasa dari masalah ini, saya memberanikan untuk menantang para sarjana dalam literatur Inggris dan Perancis untuk menterjemahkan kembali sebuah buku drama karya Shakespeare dalam editi Perancis ke dalam bahasa Inggris tanpa melihat teks asli yang berbahasa Inggris, dan untuk menunjukkan kelembutan dan keelokan (grace and elegance) karya aslinya juga.

Ahli filsafat Muslim yang besar Ibn Sina (Avicenna) menulis dalam bahasa Arab, dan beberapa dari bukunya kemudian diterjemahkan kembali dari bahasaf Latin ke bahasa Arab karena yang asli telah hilang. Apakah reproduksi ini merupakan teks yang persis sama karya Aristotle Muslim ini? Pastilah tidak!

Dalam artikel sebelum ini dalam serial ini, mengenai "Eiriny" kita telah membicarakan masalah penterjemahan ini hingga batas tertentu; dan kita tidak menjumpai kesulitan untuk menemukan ekivalen dalam bahasa Ibrani dari "Shalom", karena kedua-duanya identik baik dalam Septuagint maupun dalam teks Ibrani. Namun kata Yunani "Eudokia" tidak demikian halnya, sebaik pengetahuan saya, dalam versi Septuagint, dan sangatlah sukar untuk menemukan ekivalen atau sinonim dalam bahasa aslinya. Santo Barnabas tidak menyebutkan nyanyian malaikat dan ceritera tentang Gembala dari Betlehem itu dalam Injilnya; demikian pula Synoptic lainnya atau surat-surat dalam Perjanjian Baru.
Bahasa Yunani modern sering menggunakan kata "Eudokia" dan "Eudoxia" untuk kata sebutan feminin; dan kedua kata benda ini terdiri dari dua unsur: "eu" dan "dokeo" dari yang terakhir disebut itu diturunkan "doxa" yang berarti "kemuliaan" atau "pujian" dan sebagainya.

Untuk menemukan kata asli dalam bahasa Semit dalam lagu yang didengar dan diceriterakan oleh gembala yang saleh itu, dan yang pengabar Injil Lukas memformulakannya sebagai "Eudokia", kita dipaksa untuk menyelidiki dan menjejaki dengan benar dari akar kata dalam bahasa Yunani dan derivasinya. Namun sebelum melakukan itu, adalah perlu untuk memberikan kritik dan menunjukkan versi-versi yang salah yang telah melingkari arti Eudokia yang sebenarnya dan menutupi kabar kenabiannya terhadap Ahmad atau Muhammad.

Ada dua versi utama dalam Perjanjian Baru dari teks Yunani, yang satu berasal dari yang disebut bahasa "Syriac," dan yang lain dalam bahasa Latin. Keduanya menyandang judul yang sama pentingnya yaitu "Simplex" atau "Simple" yang keduanya berarti "Pshittha" dan "Vulgate". Terdapat bahan informasi yang baru tentang kedua versi kuno yang terkenal itu yang pasti memalukan bagi para ahli sejarah Kristen yang paling terpelajar dan ahli-ahli teologi yang paling dogmatik. Namun untuk saat ini cukup kiranya untuk mengatakan bahwa versi Aramiah 1) yang disebut Pshittha adalah lebih tua daripada Vulgate yang dalam bahasa Latin. telah diketahui secara umum bahwa Gereja Roma untuk selama empat abad pertama tidaklah memiliki Kitab-Kitab Sucinya atau Liturgy dalam bahasa Latin tetapi dalam bahasa Yunani. Sebelum Konsili Nicea tahun 325 M, Canon dari kitab-kitab Perjanjian Baru belum selesai (completed) atau lebih baik (sudah) mapan (established).Ada beberapa lusin Injil dan Surat-Surat (Epistles) yang membawa beberapa nama apostel yang berbeda-beda dan sahabat-sahabat Jesus lainnya, yang oleh berbagai masyarakat Kristen dianggap sebagai suci, tetapi buku-buku itu ditolak oleh Konsili Nicea sebagai palsu.

Karena tempat kedudukan atau pusat bahasa dan pelajaran bahasa Syria adalah Orhai, yaitu Edessa, dan tidak pernah Antiokia, di sinilah buku-buku Perjanjian Baru itu diterjemahkan dari bahasa Yunani sesudah Konsili Nicea yang terkenal dengan nama buruknya itu.

Penelitian dan studi yang mendalam mengenai literatur dan sejarah Kristen masa awal akan menunjukkan bahwa pendeta-pendeta pertama dari Injil adalah orang-orang Yahudi yang berbahasa Aramiah atau Syriac kuno. Apakah "Injil" ini adalah sebuah dokumen yang tertulis, atau sebuah doktrin yang tidak tertulis atau sebuah agama yang diajarkan dan disiarkan secara lisan, adalah suatu masalah tersendiri dan terletak di luar ruang lingkup pembicaraan kita saat ini. Namun satu hal adalah pasti dan betul ada dalam batas-batas pokok pembicaraan kita ini, yaitu orang-orang Kristen masa awal itu melakukan upacara keagamaan mereka dalam bahasa Aramiah. Itu adalah bahasa yang umum dipergunakan oleh orang-orang Yahudi, Syria, Funisia, Kaldea dan Asiria. Nah sekarang menjadi jelas bahwa orang-orang Kristen yang termasuk dalam bangsa-bangsa yang berbahasa Aramiah pastilah lebih memilih membaca buku dan berdo’a dalam bahasa mereka sendiri, dan dengan sendirinya berbagai Injil, Surat-Surat, buku-buku do’a, dan liturgi ditulis dalam bahasa Syria.

Bahkan orang Armenia sebelum mereka ciptakan alfabet mereka sendiri dalam abad kelima, telah mempergunakan huruf Syria.
Pada pihak lain, orang-orang yang telah berpindah agama yang bukan orang Yahudi dari ras Semit (non-Semitic gentile) ke "jalan baru" membaca Perjanjian Lama dalam versi bahasa Yunani dari "Seventy." Dengan begitu para sarjana filsafat Yunani dan mantan pendeta "agama" mitologi Yunani, sekali telah mengalami perubahan agama ke keyakinan yang baru dan dengan Septuagint di hadapan mereka, dapat saja tidak mengalami kesukaran dalam memproduksi "Perjanjian Baru" sebagai pelengkapan atau kelanjutan dari Perjanjian Lama.

Bagaimana Injil yang sederhana dari Utusan Allah dari Nazareth itu telah menjadi sumber dari dua alam pikiran Semitik dan Hellenistik yang kuat dan berlaku saat itu; dan bagaiman alam pikiran Yunani yang politeistik itu akhirnya melibas kepercayaan monoteistik Semit di bawah Kaisar Yunani-Latin yang tiranikal, dan di bawah Uskup-Uskup Trinitarian dari Byzantium dan Romawi yang paling tidak toleran dan penuh ketakhayulan, adalah semua itu merupakan titik saat-saat ekstrim untuk studi yang mendalam oleh sarjana-sarjana Muslim.

Lalu ada masalah-masalah mengenai kesatuan keyakinan, tentang doktrin, dan tentang teks yang telah diungkapkan. Untuk selama lebih dari tiga abad Gereja Kristen tidak mempunyai Perjanjian Baru seperti bentuknya sekarang yang kita lihat. Tidak satupun gereja-gereja Semit maupun Yunani, demikian pula Antiokia, Edessa, Byzantium dan Romawi yang memiliki semua buku dari Perjanjian Baru, juga tidak memiliki empat Injil itu sebelum Konsili Nicea. Dan saya heran bagaimana gerangan atau apa jadinya kepercayaan Kristen itu yang hanya memiliki Injil Lukas, atau Markus, atau Yohanes, mengenai dogma-dogma perihal Eucharist, Pembaptisan, Trinitas, konsep ajaib tentang Jesus, dan beberapa lusin dogma dan doktrin lainnya! Pshittha versi Syria tidak memuat apa yang disebut "Yang Penting-Penting" ("Essential") atau "Kalimat-Kalimat Dogma" ("Institutional Words") yang kini masih ada dalam Injil Lukas ( xxii. 17, 18, 19). Dua belas ayat terakhir dari enam belas pasal dari Injil kedua tidak diketemukan dalam manuskrip kuno Yunani. Apa yang disebut "Do’a Tuhan" (Matius vi. 9; Lukas xi. 2) tidak dikenal oleh pengarang –pengarang Injil kedua dan keempat. Pada kenyataannya banyak ajaran penting yang dimuat dalam satu Injil tidak diketahui oleh Gereja yang tidak memiliki Injil itu.

Akibatnya ialah bahwa tidak mungkin dapat ada keseragaman dalam pemujaan, disiplin, otoritas, keyakinan, perintah-perintah, dan hukum dalam masa awal gereja, persis seperti sekarang yang juga tidak ada. Semua yang dapat kita kumpulkan dari literatur tentang Perjanjian Baru adalah bahwa orang-orang Kristen dalam era apostel memiliki Kitab-Kitab Suci Yahudi sebagai Injil, dengan Injil yang berisi wahyu yang sebenarnya yang diturunkan kepada Jesus, dan bahwa substansinya persis sama seperti ketika dinyatakan dalam "Nyanyian Malaikat" ("Seraphic Canticle") yaitu ,ISLAM dan AHMADIYEH. Misi khusus yang ditugaskan oleh Allah kepada NabiNya Jesus adalah untuk mengembalikan atau merubah orang-orang Yahudi dari kepercayaan yang menyimpang dan salah mengenai Al Masih keturunan Daud (Davidic Messiah), dan untuk meyakinkan mereka bahwa Kerajaan Tuhan di muka bumi yang mereka harapkan bukanlah datang dari Al Masih keturunan Daud, tetapi keturunan keluarga Ismail yang bernama AHMAD, yang ekivalen sebenarnya dari namanya telah dituliskan dalam Injil Yunani dalam bentuk "Eudoxos" dan "Periclytos" dan bukan "Paraclete" seperti diciptakan oleh gereja. Dengan sendirinya bahwa "Periclyte" itu akan merupakan salah satu pokok pembicaraan utama dalam serial artikel ini. Namun apapun arti dari "Paraclete" (Yohanes xiv. 16, 26; xv. 26; dan xvi. 7) atau kartografi etimologis-nya, tetap ada kebenaran yang bersinar yang ditinggalkan oleh Jesus sesudahnya dan sebuah agama yang belum selesai untuk dilengkapkan dan disempurnakan oleh apa yang dilukiskan oleh Yohanes atau Yahya (ubi supra) dan Lukas( xxiv. 49) sebagai "Ruh" (Spirit). "Ruh" ini bukan Tuhan, yang ketiga dari tiga dalam trinitas ketuhanan, tetapi Ruh Suci dari Ahmad, yang telah ada seperti Ruh para Nabi lainnya di Sorga (cf Injil Barnabas). Jika Ruh Jesus, berdasarkan kesaksian seorang apostel, Yohanes ( xvii. 5, dsb), telah ada sebelum beliau menjadi manusia, orang-orang Muslim juga dapat dibenarkan seratus persen untuk mempercayai telah adanya Ruh Nabi Muhammad saw berdasarkan kesaksian seorang apostel juga, Barnabas! Dan mengapa tidak? Karena masalah ini akan dibicarakan dalam artikel berikutnya, untuk saat ini semua yang ingin saya tanyakan kepada gereja Kristen adalah ini: Apakah semua gereja Kristen di Asia, Afrika, dan Eropah memiliki Injil keempat sebelum Konsili Nicea? Bila jawabannya meyakinkan adanya, berdo’alah, bawalah bukti-bukti anda; bila jawabannya adalah sebaliknya, maka harus diakui bahwa sebagian besar orang Kirsten tidak mengetahui apa-apa tentang "Paraclete" – nya Santo Yohanes, sebuah kata yang dikorupsi yang tidak berarti baik "penghibur" (comforter) ataupun "perantara" (mediator) atau tidak berarti apapun! Hal ini pastilah suatu tuduhan yang serius dan menyedihkan terhadap agama Kristen.

Namun kembali pada pokok persoalan. Pshittha telah menterjemahkan kata "Eudokia" dalam bahasa Yunani (Orang Yunani membacanya "Ivdokia," atau mungkin mengucapkannya "Ivthokia") seperti halnya "Sobhra Tabha" (diucapkan: "Sovra Tava"), yang berarti "harapan baik" (good hope) atau " antisipasi yang baik" (good anticipation); sedang sementara itu di pihak lain Latin Vulgate (Injil dalam bahasa Latin) telah menterjemahkan "Eudokia" sebagai "Bona Volunta" atau "good will" – "itikad baik".

Tanpa takut saya menantang semua pakar atau sarjana Yunani, jika mereka berani, untuk menentang saya bila saya menyatakan bahwa para penterjemah buku-buku versi Syria dan Latin telah membuat kesalahan yang serius dalam interpretasi mereka atas kata "Eudokia." Bagaimanapun harus saya akui bahwa saya dengan berhati-hati tidak dapat menyalahkan para penterjemah itu yang dengan kesengajaan telah merusakkan arti istilah dalam bahasa Yunani ini; karena saya menyadari bahwa kedua versi itu mempunyai sebuah dasar yang tidak signifikan untuk membenarkan terjemahan mereka masing-masing. Namun meskipun demikian, haruslah dicatat bahwa mereka dengan begitu telah kehilangan pengertian ramalan dan arti yang sesungguhnya dari perbendaharaan kata bahasa Semit ketika mereka merubahnya ke dalam kata dalam bahasa Yunani "Eudokia."

Ekivalen yang tepat dan harfiah dari "good hope" dalam bahasa Yunani bukan "eudokia," tetapi "eu elpis" atau agaknya "euelpistia." Eksposisi dari ‘evelpistia" (pengucapan yang benar dalam bahasa Yunani) cukup untuk membuat Pshittha diam. Istilah yang persis dan pasti yang sama untuk "bona volunta" dalam bahasa Latin atau "good will" dalam lidah Yunani pastilah bukan "eudokia," tetapi "euthelyma." Dan penjelasan yang singkat namun mematikan ini sekali lagi adalah sebuah bantahan yang mencukupi kepada para pendeta dari Vatikan, dari Phanar (Konstantinopel), dan dari Canterbury, yang melagukan "Gloria in Excelsis" ketika mereka merayakan sebuah Misa atau melakukan sakramen lainnya.

1. ETIMOLOGI DAN PENGERTIAN "EUDOKIA"
Sekarang marilah kita melanjutkan usaha memberikan arti yang sebenarnya dari "Eudokia".
Sisipan depan yang bersifat kata sifat "eu" menunjukkan "baik, baik atau sehat, lebih , paling " ("good, well, more, most,") seperti dalam kata "eudokimeo" yang berarti "dihargai, disetujui, dicintai" ("to be esteemed, approved, loved,") dan "untuk mendapatkan kemuliaan" ("to acquire glory"); "eudokimos" berarti "sangat dihargai, paling terkenal dan mulia" ("very esteemed, most renowned and glorious"); "eudoxos" berarti "paling termasyhur dan mulia" ("most celebrated and glorious"); "eudoxia" berarti "seorang yang terkenal, kemasyhuran" ("celebrity, renown"). Substantif dalam bahasa Yunani "doxa" yang dipergunakan dalam kata majemuk "orthodox". "doxology" dan sebagainya, berasal dari kata kerja "dokeo." Setiap siswa literatur berbahasa Inggris mengetahui kata "doxa" berarti "kemuliaan, kehormatan, kemasyhuran" (" glory, honor, renown"). Terdapat banyak ungkapan dalam pengarang-penganrang klasik Yunani di mana "doxa" dipergunakan untuk menunjukkan "kemuliaan" ("glory"); "Peri doxis makheshai" berarti "berjuang untuk kemuliaan" ("to fight for glory"). Seorang orator Athena yang terkenal Demosthenes "lebih menyukai kemuliaan daripada kehidupan yang tenang" ("preferred glory to a tranquil life"), "kemuliaan yang sama dengan kemuliaan para dewa" ("glory equal to that of the gods"). Saya menyadari kenyataan bahwa "doxa", meskipun jarang, dipergunakan untuk menunjukkan
a. pendapat atau kepercayaan
b. dogma, prinsip, doktrin, dan
c. anticipasi atau harapan.

Namun pada umumnya pengertiannya yang umum dan komprehensif adalah "kemuliaan" ("glory"). Sebenarnya, bagian pertama dari Canticle diawali dengan "Doxa (Glory) bagi Allah Yang Maha Tinggi."

Dalam "Dictionnaire Grec - Francais" - kamus bahasa Yunani – Perancis (diterbitkan dalam tahun 1846 di Paris oleh R.C. Alexandre) kata "eudokia" diterjemahkan sebagai "bienveillence, tendresse, volunte, bon plaisir," ("benevolence, tender, goodwill, good pleasure") dan sebagainya; dan pengarangnya memberikan "dokeo" sebagai akar kata dari "doxa" dengan berbagai arti dan pengertiannya seperti telah saya sebutkan di atas.
Orang-orang Yunani yang ada di Konstantinopel yang saya mempunyai beberapa kenalan di antara para guru-gurunya, sementara sependapat mengartikan "eudokia" dengan "kegembiraan, kecantikan, kesenangan, dan keinginan" ("delight, loveliness, pleasantness, and desire"), juga mengakui bahwa kata itu berarti "seorang yang termasyhur, terkenal, keterhormatan" ("celebrity, renown, honourability") dalam pengertian aslinya sekaligus.

2. ETIMOLOGI DARI BENTUK BAHASA IBRANI MaHMaD DAN HiMDaH, DAN PENGERTIANNYA
Saya yakin bahwa jalan satu-satunya untuk mengerti arti dan semangat Injil adalah untuk mempelajarinya dari sudut pandang yang Islami. Hanya dengan begitu kemudian bahwa sifat yang sesungguhnya dari Wahyu Suci dapat dimengerti, dihargai dan dicintai. Juga hanya kemudian bahwa unsur-unsur yang lancung, palsu, dan heterogen di dalamnya dapat diketemukan dalam ciri-cirinya yang paling hitam dan dihilangkan. Dan dari sudut pandang inilah bahwa saya menyambut baik kata dalam bahasa Yunani "Eudokia" yang dalam pengertian yang sebenarnya dan harfiah dengan sangat mengagumkan sesuai dengan "Mahmad, Mahamod, Himdah" dan "Hemed" dalam bahasa Ibrani yang begitu sering dipergunakan dalam Perjanjian Lama.

a. Hamad. Kata kerja in yang terbuat dari tiga konsonan yang penting "hmd" dan umum bagi semua dialek Semit, di manapun dalam Tulisan Suci dari bangsa Ibrani menunjukkan arti: mendambakan, jatuh cinta, rindu akan, senang dan gembira dalam," ("to covet, fall in love, long for, take pleasure and delight in") dan "bergairah sekali" ("to desire ardently"). Mereka yang mengetahui bahasa Arab akan dengan sendirinya mengerti arti yang komprehensif dari kata "Shahwat" yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan "lust, cupidity, ardent desire, and appetite." Begitulah arti dan pengertian yang tepat dari kata kerja "hamad" dalam Kitab Suci Ibrani. Salah satu dari perintah dari "Sepuluh Perintah" (Dacalogue) dari Taurat atau Hukum mengandung pasal yang berikut ini: "Lo tahmod ish reikha" artinya "Engkau tidak boleh merindukan isteri tetanggamu" ("Thou shalt not covet the wife of thy neighbour") - Exodus xx. 17).

b. Hemed. sebagai substantif dalam kedudukan maskulin, dan "Himdah" dalam kedudukan feminin, mempunyai arti: "nafsu, gairah, keenakan, kesenangan, obyek kerinduan dan kegairahan, kecantikan" ("lust, desire, pleasantness, delight, object of longing and desire, loveliness") – Hagai ii. 7; Jeremiah xxv. 34, dsb.).

c. MaHMaD, MaHaMoD (Ratapan i. 7, 10; ii. 4, dsb.), bentuk-bentuk partisip ini berasal dari kata kerja "hamad" dan berarti "paling didambakan, menyenangkan, mengenakkan, lezat, menarik, mulia, dicintai" ("most covetable, delightful, pleasant, delicious, charming, precious, beloved")

Bahwa bentuk dalam bahasa Arab untuk "MuHaMmaD" dan bentuk dalam bahasa Ibrani "MaHMaD dan MaHaMoD berasal dari satu kata kerja atau akar kata yang sama, dan bahwa keduanya, meskipun ada sedikit perbedaan ortografi antara keduanya, mempunyai satu asal dan pengertian yang umum sedikitpun tidak diragukan sama sekali. Saya telah memberikan pengertian dari bentuk-brentuk dalam bahasa Ibrani sebagaimana orang Yahudi dan para lexicografer telah memahaminya.

d. Karena itu akan diamati bahwa kata dalam bahasa Yunani "eudokia" harus merupakan representasi harfiah dari substantif dalam bahasa Ibrani HiMDaH, dan bahwa keduanya berarti: "kesenangan, keenakan, kenikmatan yang baik, gairah, kecantikan, kemuliaan," ("delight, pleasantness, good pleasure (bon plaisir), desire, loveliness, preciousness") dan beberapa kata sinonim lainnya.

Nah, dari yang tersebut di atas itu akan diperoleh pengertian bahwa ekivalen yang sesuai dengan MaHaMoD dalam bahasa Ibrani tidak bisa lain daripada "eudoxos" yang adalah obyek dari kegairahan dan kerinduan, yang paling menyenangkan, mengenakkan dan didambakan, dan yang paling mulia, disetujui, dicintai, dan dihargai.

Bahwa di antara anak-anak Adam nama Muhammad harus telah diberikan untuk pertama kalinya hanya kepada anak Abdullah dan Aminah di kota Mekkah, adalah suatu keajaiban yang unik dalam sejarah agama-agama. Tak mungkin ada alat yang artifisial, usaha, atau pemalsuan dalam hal ini. Orang tuanya dan saudara-saudaranya adalah orang-orang yang "fitr" lurus tetapi tidak tahu apa-apa tentang ramalan dalam Kitab-Kitab Suci Ibrani atau Kristiani mengenai seorang Nabi besar yang dijanjikan untuk datang mengembalikan dan mendirikan agama Islam. Pilihan mereka akan nama Muhammad atau Ahmad tidak dapat diterangkan sebagai suatu kejadian yang bertepatan atau peristiwa yang kebetulan. Hal itu sudah barang tentu suatu takdir Tuhan dan karena ilham.
Apakah penyair-penyair dan ahli-ahli sastra Arab telah memelihara atau tidak memelihara pengertian kuno dari partisip pasif bahasa Ibrani dari bentuk pi’el dari kata kerja hamad, saya tidak mempunyai sarana apapun untuk membuktikan dengan satu atau cara lainnya. Namun bentuk partisip pasif dalam bahasa Arab dari konjugasi pi’el dari kata kerja hammida adalah Muhammad, dan bahwa kata yang sama himmid dalam bahasa Ibrani adalah Mahmad atau Mahamod. Pertalian antara kesamaan dan identitas kedua bentuk itu tidak dapat dipermasalahkan.

Dengan setia saya telah mereproduksikan pengertian dari bentuk-bentuk dalam bahasa Ibrani seperti telah diberikan oleh para lexicografer dan penterjemah. Namun pengertian intrinsik atau spiritual dari "Himdah" dan "Mahamod" adalah: "pujian dan pantas untuk dipuji, seorang yang termasyhur dan dihormati, kemuliaan dan mulia" ("praise and praiseworthy, celebrity and celebrated, glory and glorious"). Karena di antara mahluk dan benda yang diciptakan, apa yang dapat "lebih mulia, terhormat, terkenal, dan terpuji daripada yang paling didambakan dan dirindukan" ("more glorious, honorable, illustrious, and praised than that which is most coveted and desired"). Di dalam pengertian praktis inilah bahwa Al Qur’an mempergunakan kata "hamdu" dari mana kata Ahmad dan Muhammad berasal, dan "hamdu" adalah kata yang sama dengan "hemed" dalam bahasa Ibrani. Kemuliaan Nabi Muhammad saw melampaui kemuliaan mahluk lainnya yang manapun, seperti dilukiskan oleh Daniel ( vii 0, dan dalam wahyu Allah: "Law la ka lama Khalaqna ‘l-Aflaka" yang artinya: " Kalau bukan karena engkau, kalau bukan karena engka (wahai Muhammad yang tercinta), Kami tidak telah menciptakan dunia" (atau langit). tetapi kehormatan dan kemuliaan yang tertinggi yang diberikan oleh Allah kepada UtusanNya yang paling dihargai adalah bahwa beliau diperintahkan untuk mendirikan dan menyempurnakan agama Allah yang sejati, yang bernama "Islam," yang seperti nama Nabi Muhammad saw memiliki begitu sangat banyak pengertian yang menghibur dan menyehatkan: "damai, jaminan, keamanan, ketenangan, keselamatan" ("peace, security, safety, tranquility, salvation") dan "Kebaikan" berhdapan dengan "Kejahatan"; tambahan lagi pengertian penyerahan diri dan kepasrahan kepada Kehendak Allah. Visi dengan mana Gembala yang saleh dihormati dalam peristiwa kelahiran Jesus Kristus adalah tepat dan menguntungkan. Karena seorang Misionaris besar Allah, seorang Evangelis Islam telah dilahirkan. Karena Jesus adalah Utusan dari Kerajaan Allah, demikian pula Injilnya adalah suatu Introduksi kepada Al Qur’an. Kebangkitan Jesus adalah permulaan suatu era baru dalam sejarah agama dan moral. Beliau sendiri bukan "Mahamod" yang harus datang sesudahnya untuk menghancurkan Yang Jahat dan Kerajaan Penyembahan Berhala di Tanah jang Dijanjikan. "Binatang Keempat" kekuasaan Romawi yang kuat, masih bertumbuh dan melebarkan daerah taklukannya. Jeruzalem, dengan kuil dan kependetaan yang indah, akan dihancurkan oleh Binatang itu. Jesus "datang kepada kaumnya sendiri; tetapi kaumnya itu tidak sudi menerimanya." Dan mereka di antara orang-orang Yahudi yang menerima beliau dijadikan "anak-anak Kerajaan" tetapi sisanya tersebar di seluruh dunia. Kemudian diikuti oleh sepuluh penindasan yang mengerikan di bawah Kaisar Romawi yang penyembah berhala yang telah memahkotai ribuan orang dengan tiara kesyahidan; dan Constantine Agung dan pengganti-penggantinya dibenarkan untuk menumpas orang-orang yang beriman sesungguhnya pada Keesaan Allah. Kemudian adalah Nabi Muhammad saw – bukan tuhan atau anak tuhan, tetapi "Anak Manusia yang mulia, didambakan, yang paling terkenal, Bar Nasha yang sempurna" yang harus datang dan menghancurkan Binatang itu.

Catatan kaki
(1) Versi Pshittha dari Perjanjian Lama tidak pernah memakai kata "Syria" dan "Syriac," tetapi "Aram" dan "Aramiah".



bersambung ...

Diambil dari :
"WHAT EVERY CHRISTIAN AND JEW SHOULD KNOW"
Oleh :
PROFESOR DAVID BENJAMIN KELDANI, B.D.
Alih Bahasa Oleh :
H.W. Pienandoro SH

Sumber :
website milik HIRA AL KAHFI dengan alamat :
http://www.mosque.com/goodial.html

Versi CHM diambil dari situs :
http://www.pakdenono.com
 

Posting by Mohammad Nurdin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar