Cari Blog Ini

Sabtu, 17 Juli 2010

Guru Berkualitas Hasilkan Anak Didik Berkualitas



Kini, saya tambah percaya bahwa Guru berkualias akan menghasilkan anak didik yang berkualitas pula. Hal ini saya alami sendiri. Berikut ceritanya.

Saya memiliki tiga orang anak yang semuanya laki-laki. Cerita ini akan berfokus pada anak pertama saya yang baru saja lulus SD dan sekarang menduduki SLTP. Anak saya bersekolah di dua tempat. Kelas 1 sampai dengan kelas 3 di sekolah SDN (Sekolah Dasar Negeri), sedangkan kelas 4 sampai dengan kelas 6 di SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) Swasta. Dulu pandangan saya terlalu naïf, sekolah di mana saja toh hasilnya sama saja. Kalau anaknya pintar dan cerdas di manapun bersekolah akan tetap pintar dan cerdas. Oleh karena itu, saya masukkan anak saya di sekolah SDN di dekat rumah. Cukup jalan kaki sampai sekolah, seperti saya dulu bersekolah. (hal ini bukan didorong SDN sekarang gratis, bebas uang sekolah, SPP dan BP3 karena sudah ada BOS, Bantuan Operasional Sekolah).

Hasilnya bisa dilihat pada grafik di atas ini.

Dalam grafik terlihat nilai anak saya cenderung terus menurun dari rata-rata 78 pada kelas 1 semester 1 menjadi 6,8 pada kelas 3 semester 2. Demikian juga dengan mata pelajaran UASBN (ujian Akhir Semester Berstandar Nasional) menurun dari 85 pada kelas 1 semester 1 menjadi 72 pada kelas 3 semester 2. Dalam prediksi saya yang terbiasa dengan data statistik maka terlihat tren data adalah kecenderngan terus terjadi penurunan. Bisa jadi di akhir kelas 6 keadaan bisa lebih parah, tidak lulus SD.
Maka dari itu saya bulatkan tekad (dengan mencari-cari alasan) untuk memindahkan anak saya ke sekolah yang lebih berkualitas, yang bisa mendidik murid (terutama anak saya) menjadi lebih baik dari sebelumya yaitu saya pindahkan ke SDIT swasta. Hasilnya bisa dilihat pada gambar. Nilai anak saya berangsur-angsur naik dari rata-rata semua mata pelajaran 68 pada kelas 4 semester 1 menjadi 81 pada kelas 6 semester 2. Demikian juga dengan mata pelajaran UASBN meningkat dari 71 pada kelas 4 semester1 menjadi 79 kelas 6 semester 2.

Meski tidak juara saya cukup puas. Alhamdulillah, saya bersyukur kepada Allah SWT. Ternyata saya belum terlambat untuk berubah haluan.

Mengapa ini terjadi? Beberapa hal mungkin menjadi penyebabnya yaitu sebagai berikut :

  1. Pertama, pada SDN (tempat bersekolah anak saya. Ini tidak dapat digeneralisasikan untuk seluruh SDN kota saya apalagi di Indonesia) Guru-gurunya kurang professional. Profesional dalam arti kapabilitas mengajar. Bayaran (upah/gaji) yang tidak semuanya mendapatkan yang layak. Perlu dicatat di sini tidak semua guru yang mengajar di SDN atempat sekolah anak saya adalah pegawai negeri. Sebagian masih honorer dengan upah/gaji yang masih jauh dari kata layak. Entah di garis kemiskinan atau malah di bawahnya. Saya tidak tahu. Bagaimana ia mau peduli dengan nasib anak didiknya bila nasib dirinya pun tiada tentu. Bagaimana ia akan bangga sebagai pengajar, bila menjadi pengajar dengan pendapatan yang tidak bisa dibanggakan. Uang bukan segalanya tetapi kalau masih hidup di bawah garis merah kemiskinan, bagaimana bisa tetap bisa istiqomah untuk profesianal. Rasanya jauh panggang dari api. Hanya manusia-manusia pilihan saja yang bisa demikian. Sebagian besar, tidak! Ini berbeda dengan SDIT swasta tempat anak saya pindah sekolah (ini juga tidak bisa digeneralisasikan semua SDIT swasta Indonesia mesti lebih baik). Pada sekolah ini sistemnya fullday (dari jam 07.00 wib – 15.30). Guru-gurunya (di sini biasa dipanggil Ustadz atau Ustadzah) terlihat bangga sebagai guru. Tidak terlalu kaya tetapi tidak miskin-miskin amat. Masih bisa pakai sepeda motor baru atau lama. Kebanggaan dan rasa percaya diri tampak waktu berhadapan dengan siswa dan orang tua yang bisa jadi sangat kaya (terindikasi dari mobil yang dipakai menjemput sang buah hati yang harganya antara 9 atau 10 digit. Satuan milyar maksudnya).
  2. Kedua, rasio siswa dengan guru. Di tempat lama anak saya, jumlah murid 46 orang. Secara administarsi terbagi 2 kelas. Diampu oleh 2 guru. Kenyataannya, waktu saya cek, digabung menjadi satu dan diampu oleh satu guru. Bayangkan rasio 1 : 46. Saya sendiri yang beberapa kali menjadi instruktur pelatihan petugas sensus/survey agak kesulitan mengajar kelas di atas 30 orang, yang notabene meraka adalah orang-orang dewasa. Bagaimana dengan anak-anak yang keseriusan menerima pelajaran masih kurang dan masih suka main-main. Rasio ini di atas yang ditetapkan Depdiknas yaitu 1 : 40 . yang ideal seperti di Negara Australia yaitu rasio 1 : 10. Sebuah rasio yang sangat ideal. Sedangkan di sekolah kedua 1 kelas berisi 26 siswa dan diampu oleh dua orang guru. Jadi rasionya 1 : 13. sangat mendekati rasio Negara Australia. Memang di sekolah yang kedua adalah termasuk SIBI (Sekolah Islam Berwawasan Internasional).
  3. Ketiga, di SDN harus gratis. Saya sebagai orang tua sebenarnya tidak keberatan membayar. “Jer besuki mowo beo”, kata orang Jawa. Karena gratis, maka sekolah harus pandai-pandai mengatur dana BOS agar mencukupi kebutuhan operasional sekolah. Pemerintah merasa bahwa dana BOS akan mencukupi tetapi pada kenyataan bisa tidak mencukupi bila ada agenda di luar pendidikan masuk seperti interest Kepala Sekolah dan Dinas P dan K setempat. Ini bukan rahasia lagi, di jaman serba buka-bukan seperti ini. Sedang di sekolah kedua harus bayar (menurut persepsi saya tidak mahal tetapi istri saya menganggap mahal bila dibandingkan dengan SD negeri). Karena memiliki dana mereka bisa berbuat lebih banyak lagi. Uang bukan jaminan semua lancar. Tetapi keikhlasan bekerja, kecintaan pada profesi, digabung dengan uang akan menghasilkan hasil yang optimal. Saya yakin Anda akan setuju bahwa Anda akan bekerja optimal bila pekerjaan yang Anda lakukan adalah pekerjaan yang anda cintai di samping Anda mendapat bayaran yang pantas untuk itu. Para pemain sepokbola kelas dunia juga membuktikan hal itu.
  4. Keempat, ini hampir terjadi di intansi manapun khususnya yang berkaitan dengan pegawai negeri. Balas jasa sangat tergantung lembaran-lembaran seperti ijazah dan sertifikat. Banyak teman saya yang memiliki ijazah S1 (sarjana) tetapi saya lihat kemampuannya tidak beda dengan lulusan SMA. Demikian juga yang S2 (pasca sarjana) yang tidak beda dengan waktu dia masih S1. Banyak guru-guru yang pegawai negeri memburu sertifikat. Acara seminar penuh sesak oleh mereka. Bukan ilmunya yang dicari. Kalau perlu tidak hadir bisa dapat sertifikat. Demikian juga dengan karya tulis. Berapa banyak yang copy paste karya orang kemudian diakui sebagai karya sendiri. Ini adalah dampak sertifikasi guru. Guru yang sudah sertifikasi memperoleh tunjangan hampir sebesar gaji pokok. Produk murid seperti apa yang akan dihasilkan oleh guru-guru yang bermental seperti ini. Meski saya akui tidak semua guru demikian. Masih banyak mereka yang istiqomah, jujur, dan ikhlas menjadi pendidik. Sedangkan di sekolah SDIT swasta tempat anak saya bersekolah, guru juga dididik untuk menjadi pendidik yang baik. Bukan banyaknya sertifikat yang dimiliki yang menjadi dasar penilaian. Lagi pula orang tua yang menyekolahkan anak tidak akan melihat berapa banyak sertifikat yang dimiliki. Berapa banyak karya tulis yang dihasilkan. Tidak. Bukan itu concern orang tua. Yang mereka inginkan anak dididik mejadi anak yang berakhlak terpuji, berilmu, percaya diri, dan mampu memaksimalkan potensi diri. Ibarat kita punya mobil rusak maka kita percayakan kepada montir yang bisa memperbaiki mobil kita terlepas montir itu punya seabrek ijazah atau sertifikat atau otodidak tanpa satu pun sertifikat. Yang penting montir itu bisa memperbaiki mobil kita. Itu saja harapan mereka, menurut saya. Mudah-mudahan saya tidak keliru.
Jadi dalam pandangan saya bukan pendidikan murah yang diharapkan tetapi pendidikan yang berkualitas itulah yang penting. Saran saya adalah dalam menyekolahkan anak kita harus dipertimbangkan baik-baik kualitas sekolah juga kualitas gurunya. Jangan nanti kita menyesal di kemudian hari. Seperti kata ucapan bijak, "Sesal kemudian tiada berguna."

Kalau boleh memberi gambaran biaya sekolah anak seperti membangun Piramida. Dengan pondasi yang kuat, kita bisa berharap anak kita akan bisa menyelesaikan pendidikan tertinggi (S3 misalnya) dengan biaya murah. Maksudnya karena anak kita pintar dan cerdas maka mereka layak mendapat beasiswa dari Negara atau Perusahaan atau Institusi lain atau mereka bisa membiayai dirinya sendiri. Keduanya sama dalam pandangan saya bahwa biaya yang akan kita keluarkan menjadi rendah. Lihat gambar di atas ini. Bayangkan apa yang terjadi bila piramida itu kita balik. Jelas akan labil dan tidak tahan diterpa angin, badai gurun, dan apalagi waktu.
Hanya dengan pendidikan yang berkualitas saja maka negeri ini akan maju dan bisa bersaing dengan tenaga kerja dari negera lain. Bukan malah menjadi pengangguran di negeri sendiri. Kalah sebagai pecundang. Mudah-mudahan itu tidak terjadi pada anak-anak kita.

Posting by Mohammad Nurdin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar