Cari Blog Ini

Kamis, 24 September 2015

Tragedi Mina, Filosofi di Balik Lempar Jumrah

Oleh : Umi Kalsum

Musibah kembali terjadi dalam pelaksanaan haji 1436 Hijriyah. Tragedi Mina yang menewaskan ratusan jemaah haji kembali terulang. Sebanyak 717 orang meninggal dunia dan lebih dari 800 orang terluka. Mereka terdesak, terdorong dan terinjak saat hendak menjalankan ritual melempar jumrah di Jamarat.

Lempar jumrah dimulai dengan jumrah aqabah yang dilaksanakan 10 Dzulhijah 1436 Hijriyah atau 24 September 2015. Kebanyakan jemaah mengejar waktu afdol saat dhuha. Kondisi inilah yang membuat situasi menjadi chaos.

Lempar jumrah ini akan berlangsung hingga hari tasyrik tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah (25-27 September 2015). Melempar jumrah ini memiliki filosofi yang dalam sebagai lambang melontar iblis yang menjadi musuh manusia yang nyata meskipun ghaib.

Kepala Bidang Bimbingan Ibadah dan Pengawasan KBIH Ali Rokhmad seperti dikutip dari Media Center Haji Kementerian Agama menjelaskan, memerangi iblis dan setan bukan karena ingin membunuhnya, melainkan berupaya agar godaan mereka tidak bisa menembus diri manusia.

Prosesi melempar jamrah di dalam ibadah haji terlihat mudah,  tetapi sebenarnya banyak praktik yang salah kaprah, seperti: mencuci batu kerikil sebelum dilontarkan, serta melontar jumrah menggunakan selain batu kerikil. Termasuk praktik yang salah adalah melontarkan batu kerikil 7 (tujuh) buah sekaligus. Selain itu juga meminta digantikan melontarkan, padahal dia masih mampu melakukan sendiri.

Menurut Ali Rokhmad, melontar tiga jumrah  dapat dimaknai melontarkan sifat trilogi thaghut (pendurka Allah) yang terkenal dari dalam diri kita, yakni: Qarun, Bal’am, dan Fir’aun. Selain mereka bertiga, sebenarnya thaghut dipelopori oleh iblis, lalu diikuti Qabil putra Nabi Adam as. “Trilogi thagut atau 3 karakter thaghut ini akan selalu ada di setiap zaman, kaum, dan struktur masyarakat di setiap bangsa dan Negara. Paham ini, menjadi subur ketika kepemimpinan tidak dipandu syariat Allah Swt," kata dia.

Jumrah ula, menurut Ali adalah melontar sifat Qarun dari dalam diri jamaah haji. Lemparan batu pada jumrah ini diharapkan menjadi simbol kesadaran untuk membebaskan diri dari sifat-sifat Qarun, seperti sifat ‘ujub’ Qarun yang mengagumi diri sendiri sebagai orang yang ahli mendapatkan harta kekayaan, kemudian sifat ‘lalai bersyukur’ Qarun terhadap Allah ataupun berterima kasih kepada orang-orang pernah berjasa.

Selanjutnya, sifat ‘pelit atau bakhil’ Qarun yang enggan mengeluarkan harta untuk membantu fakir miskin, dan orang-orang yang memerlukan atau membiayai perjuangan di jalan Allah. Juga memerangi sifat ‘pamer’ Qarun yang suka mengoleksi barang yang tidak perlu di rumahnya, sekadar untuk menunjukkan bahwa dirinya kaya.

Selain itu sifat ‘tamak’ Qarun yang tidak merasa cukup dengan harta kekayaan yang dimilikinya dan selalu memandang ke atas. Angan-angannya sering mengatakan, “Kapan aku lebih kaya seperti orang itu?” Kemudian sifat ‘westernisasi’ Qarun yang kebarat-baratan dalam cara hidup, makan-minum, berpakaian, hiburan, dan sebagainya. Ada pula Sifat ‘menghitung-hitung’ harta yang akan dan telah disedekahkan di jalan-Nya. Dan, harta ‘haram’ Qarun agar tidak mencemari harta halalmu.

Sementara Jumrah Wustha, menurut Ali merupakan simbol membebaskan diri dari sifat-sifat  Bal’am, yaitu ‘menjilat’, ‘menjual’ ayat dan kebenaran demi masalah dunia yang hanya sementara, sifat menghalalkan segala cara demi mendapatkan keinginan duniawi serta kehormatan sesaat, dan sifat ‘perselingkuhan’ ruhani Bal’am yang menggadaikan tugas dari Nabi Musa kepada Raja Madyan dengan kedudukan, pangkat, dan istri cantik dari sang raja.

Adapun Jumrah Aqabah, menurut Ali Rokhmad merupakan simbol melemparkan  sifat-sifat Fir’aun dalam diri jamaah, seperti: sifat kesombongan dan kedurhakaan, kemusyrikan’ Fir’aun  yang selalu menyekutukan Allah,  sifat mendustakan agama, sifat ‘dzalim’ terhadap istrinya sehingga tega memukul, memenjarakan, bahkan membunuhnya, dan sifat ‘menumpuk-numpuk’.  Ketika sakit, ia minta ampun kepada-Nya. Tapi giliran sembuh, ia lupa apa yang telah menimpanya. 

“Lemparkan sifat ‘tidak segera bertaubat’ hingga akhirnya meninggal dalam keadaan su’ul khatimah,” tutur Ali Rokhmad.

Sejalan dengan itu, selesai melontar jumrah, jemaah haji  diharapkan dapat membuang semua sifat-sifat Qarun, Bal’am, dan Fir’aun, dan menggantinya dengan  sifat-sifat Nabi Adam, Nabi Musa, Nabi Ibrahim, dan Nabi Muhammad SAW, yang kesemuanya merupakan sifat atau akhlak terpuji.



Posting by Mohammad Nurdin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar