(Biro Kepatuhan Syariah IZI)
Sesungguhnya dalam beribadah mengandung 2 (dua) prinsip, yaitu puncak kecintaan dan puncak ketundukan atau merendahkan diri. Keduanya terangkum dalam firman Allah:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada-Mu kami menyembah/beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (QS Al-Fatihah: 5)
Hikmah “ibadah” disebutkan terlebih dahulu daripada “isti’anah” adalah mendahulukan tujuan daripada wasilah (sarana), karena ibadah merupakan tujuan diciptakannya manusia, sedangkan isti’anah merupakan wasilah kepada ibadah itu. Atau karena iyyaka na’budu adalah ibadah kepada Allah, sedangkan iyyaka nasta’in adalah permohonan pertolongan kepada-Nya, sehingga apa yang untuk Allah harus didahulukan atas sesuatu yang dimintakan kepada-Nya.
Berdasarkan kedua prinsip tersebut ( iyyaka na’budu dan iyyaka nasta’in), manusia terbagi menjadi 4 (empat) golongan:
1 : Mereka adalah yang paling utama, yakni para ahli ibadah dan isti’anah kepada Allah. Ibadah kepada Allah merupakan tujuan yang mereka maksudkan. Apa yang mereka minta adalah pertolongan untuk dapat terus beribadah, lalu Allah pun berkenan kepada mereka untuk menunaikannya. Oleh sebab itu, sesuatu yang paling utama dimintakan kepada Allah adalah pertolongan untuk mendapatkan keridhaahn-Nya. Inilah yang diajarkan Baginda Nabi kepada Muadz bin Jabal dalam hadits yang shahih:
“Wahai Muadz, demi Allah aku mencintaimu, karena itu jangan lupa pada tiap usai shalat untuk mengucapkan, ‘Ya Allah, tolong-Lah aku untuk mengingat-Mu, mensyukuri-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan baik.” (HR Abu Dawud 1522)
Ke-2: Golongan orang yang tidak mau beribadah dan ber-isti’anah kepada Allah. Kalaupun mereka meminta pertolongan kepada-Nya, semata untuk kesenangan dan keberuntungannya sendiri, bukan mencari keridhaan Tuhannya. Contohnya adalah musuh Allah, yakni Iblis.
Iblis pernah meminta kepada Allah, lalu Allah pun memberinya. Akan tetapi, ketika permintaan itu tidak untuk mencari keridhaan-Nya, hal itu menjadikannya semakin celakan dan semakin jauh dari Allah serta terusir dari rahmat-Nya. Demikian pula, setiap orang yang meminta tolong kepada Allah untuk satu urusan tetapi bukan pertolongan untuk menaati-Nya, hal itu akan menjadikannya semakin jauh dari Allah.
Ke-3: Golongan orang yang beribadah tetapi enggan meminta tolong kepada Allah. Mereka beranggapan sudah tidak ada lagi pertolongan bagi hamba, karena Allah sudah menciptakan perangkat dan sarana, memperkenankan jalan, dan memberinya kemampuan untuk berbuat. Untuk selanjutnya, tidak ada lagi pertolongan yang perlu untuk diminta.
Rupanya, pandangan mereka tidak mampu menembus dari yang bergerak menuju yang menggerakkan, atau dari sebab menuju yang menyebabkan. Sedikit sekali penghayatan mereka kepada iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Padahal, mereka akan mendapatkan petunjuk dan hasil nyata sesuai kadar isti’anah dan tawakkal mereka. Sekiranya seorang hamba meminta dan bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya untuk melenyapkan gunung, niscaya Allah akan melenyapkannya.
ke-4: Orang yang meyakini keberadaan Allah sebagai sebagai pemberi manfaat dan mudharat, apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak terjadi. Akan tetapi, dia tidak menghiraukan apa yang dicintai dan diridhai Allah, dan melupakan tujuan penciptaan dirinya.
Mereka meminta segala sesuatu kepada Allah, lalu permintaan itu pun dikabulkan, baik berupa harta, kekuasaan, kedudukan di sisi makhluk, dan yang lainnya. Akan tetapi, tidak ada akibat baik baginya di akhirat nanti. Mereka yang berpandangan demikian sesungguhnya jahil dan belum mengenal Allah dan agamanya, belum bisa membedakan mana yang dicintai dan diridhainya.
Demikianlah, Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan para ahli ibadah yang bertawakkal dan berserah diri. آمين
Posting by Mohammad Nurdin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar