Bagi Anda yang kurang mengetahui tentang ekonomi moneter mungkin agak bingung kenapa terjadi inflasi. Ini sulit dipahami tetapi mudah dirasakan. Kenapa harga-harga bisa melambung tinggi. Apalagi bagi yang berpenghasilan tetap, kesulitan makin terasa karena uang yang diperoleh semakin berkurang nilainya.Itulah pencuri yang tidak kelihatan yaitu apa yang disebut dengan inflasi.
Hal ini tidak terlepas dari sistem perbankan di negara kita yang juga merupakan bagian dari sistem perbankan Internasional. Untuk lebih jelasnya kita akan coba pelajari apa penyangga sistem perbankan dan keuangan Internasional itu.
Sistem perbankan dan keuangan Internasional mempunyai tiga pilar penyangga yaitu sebagai berikut :
Pilar Pertama yaitu fiat money atau uang kertas dan logam yang diterbitkan pemerintah. Dengan sistem ini rakyat dipaksa untuk menggantungkan nilai ekonomi kekayaan dan keringat kerja keras mereka hanya pada uang kertas (bank notes). Dalam keadaan tertentu pemerintah bisa mencetak uang lebih untuk membiayai kebutuhannya. Namun itu berdampak pada penurunan nilai mata uang itu sendiri. Pada masa pemerintahan orde lama ini pernah terjadi. Dampaknya adalah pemotongan nilai mata uang seribu rupiah menjadi satu rupiah. Ini dikenal sebagai sanering. Pada masa sekarang juga hampir terjadi hal serupa namun dengan nama berbeda yaitu denominasi. Namun tidak mudah diterapkan karena terjadi pro kontra di dalam masyarakat. Bandingkan dengan satu dollar yang tetap bernilai satu dollar karena sistem keuangan dunia menjadikan dollar sebagai rujukan. Sistem ini sangat tidak adilkan? Memang dunia jauh dari keadilan. Makanya alakah tidak bijaknya kita bila menyimpan seluruh kekayaan untuk bekal hari tua hanya dalam wujud uang kertas atau tabungan hari tua di bank. Bisa-bisa saat kita membutuhkan uang itu sudah tidak ada baik diambil atau dicuri orang yang bekerja di perbankan atau yang tahu sistem perbankan. Contohnya banyak disekitar kita, baik diberitakan di media cetak maupun elektronik. Wujud lain uang kertas adalah uang riil seperti emas yang nilainya cenderung stabil. Atau bisa juga berupa barang baik itu rumah, tanah, ataupun hewan ternak.
Pilar kedua, Fractional Reserve Requirement (FRR) atau persentase cadangan minimal. Bank-bank di seluruh dunia termasuk bank central, tidak terkecuali bank Indonesia hanya perlu menyediakan cadangan minimal sebesar 10 persen dari seluruh uang yang diproduksi dan diedarkan. Hanya perlu 10 trilyun untuk mendapatkan kekayaan masyarakat sebesar 100 trilyun.
Pilar ketiga, Interest atau bunga bank. Dengan adanya bunga bank, masyarakat diiming-imingi untuk menyimpan uangnya di bank baik berupa tabungan atau deposito. Sebaliknya bank memutar uang titipan masyarakat dengan cara meminjamkan kepada mereka yang membutuhkan dengan bunga yang tentunya lebih tinggi daripada bunga tabungan.
Tulisan ini bukan ditujukan sebagai gerakan anti menabung di bank tetapi agar kita menjadi lebih bijak dalam berhubungan dengan bank. Meski ada sisi baiknya, tetapi kita harus berhati-hati dengan sisi negatif lainnya. Ada pengusaha besar di Indonesia yang tidak suka meminjam di bank. Alasannya, bank hanya dipakai sebagai tempat menyimpan dan bertransaksi bukan berhutang. Sebab tradisinya berhutang dengan bank tidak kenal kasihan, kalau kita bangkrut maka jaminan kita akan disita. Maka beliau lebih suka berhutang dengan orang tua, saudara, atau teman. Masih jelas teringat dalam benak kita kasus anggota dewan yang mati dianiaya oleh debt collector. Dan kalaupun menyimpan di bank perlu diingat batas simpanan yang dijamin oleh pemerintah. Selebihnya tidak ditanggung lagi oleh pemerintah.
Hal ini tidak terlepas dari sistem perbankan di negara kita yang juga merupakan bagian dari sistem perbankan Internasional. Untuk lebih jelasnya kita akan coba pelajari apa penyangga sistem perbankan dan keuangan Internasional itu.
Sistem perbankan dan keuangan Internasional mempunyai tiga pilar penyangga yaitu sebagai berikut :
Pilar Pertama yaitu fiat money atau uang kertas dan logam yang diterbitkan pemerintah. Dengan sistem ini rakyat dipaksa untuk menggantungkan nilai ekonomi kekayaan dan keringat kerja keras mereka hanya pada uang kertas (bank notes). Dalam keadaan tertentu pemerintah bisa mencetak uang lebih untuk membiayai kebutuhannya. Namun itu berdampak pada penurunan nilai mata uang itu sendiri. Pada masa pemerintahan orde lama ini pernah terjadi. Dampaknya adalah pemotongan nilai mata uang seribu rupiah menjadi satu rupiah. Ini dikenal sebagai sanering. Pada masa sekarang juga hampir terjadi hal serupa namun dengan nama berbeda yaitu denominasi. Namun tidak mudah diterapkan karena terjadi pro kontra di dalam masyarakat. Bandingkan dengan satu dollar yang tetap bernilai satu dollar karena sistem keuangan dunia menjadikan dollar sebagai rujukan. Sistem ini sangat tidak adilkan? Memang dunia jauh dari keadilan. Makanya alakah tidak bijaknya kita bila menyimpan seluruh kekayaan untuk bekal hari tua hanya dalam wujud uang kertas atau tabungan hari tua di bank. Bisa-bisa saat kita membutuhkan uang itu sudah tidak ada baik diambil atau dicuri orang yang bekerja di perbankan atau yang tahu sistem perbankan. Contohnya banyak disekitar kita, baik diberitakan di media cetak maupun elektronik. Wujud lain uang kertas adalah uang riil seperti emas yang nilainya cenderung stabil. Atau bisa juga berupa barang baik itu rumah, tanah, ataupun hewan ternak.
Pilar kedua, Fractional Reserve Requirement (FRR) atau persentase cadangan minimal. Bank-bank di seluruh dunia termasuk bank central, tidak terkecuali bank Indonesia hanya perlu menyediakan cadangan minimal sebesar 10 persen dari seluruh uang yang diproduksi dan diedarkan. Hanya perlu 10 trilyun untuk mendapatkan kekayaan masyarakat sebesar 100 trilyun.
Pilar ketiga, Interest atau bunga bank. Dengan adanya bunga bank, masyarakat diiming-imingi untuk menyimpan uangnya di bank baik berupa tabungan atau deposito. Sebaliknya bank memutar uang titipan masyarakat dengan cara meminjamkan kepada mereka yang membutuhkan dengan bunga yang tentunya lebih tinggi daripada bunga tabungan.
Tulisan ini bukan ditujukan sebagai gerakan anti menabung di bank tetapi agar kita menjadi lebih bijak dalam berhubungan dengan bank. Meski ada sisi baiknya, tetapi kita harus berhati-hati dengan sisi negatif lainnya. Ada pengusaha besar di Indonesia yang tidak suka meminjam di bank. Alasannya, bank hanya dipakai sebagai tempat menyimpan dan bertransaksi bukan berhutang. Sebab tradisinya berhutang dengan bank tidak kenal kasihan, kalau kita bangkrut maka jaminan kita akan disita. Maka beliau lebih suka berhutang dengan orang tua, saudara, atau teman. Masih jelas teringat dalam benak kita kasus anggota dewan yang mati dianiaya oleh debt collector. Dan kalaupun menyimpan di bank perlu diingat batas simpanan yang dijamin oleh pemerintah. Selebihnya tidak ditanggung lagi oleh pemerintah.
Posting by Mohammad Nurdin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar