Cari Blog Ini

Selasa, 04 Agustus 2015

Akar Pemikiran KH Hasyim Asyari dan KH Ahmad Dahlan

Oleh : Arif Wibowo – Ketua Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)

Pembahasan mengenai NU dan Muhammadiyah sebenarnya sudah tidak terlalu darurat sekarang, karena suasana hubungan NU dan Muhammadiyah tidak sepanas dulu. Namun sebagai ummat yang kadang jika disodorkan pertanyaan “kamu NU apa Muhammadiyah?” oleh orang awam, dan seringkali kita malah menjawab Ahlus sunnah wal jamaah, malah membuat si penanya awam itu bingung, lantas tidak kita jelaskan apa itu ahlus sunnah wal jamaah, kita abai pada ummat yang belum faham. Barangkali lebih pas jika kita tahu terlebih dahulu, bahwa NU dan Muhammadiyah itu sama-sama ahlus sunnah wal jamaah, jadi ndak masalah esoknya si penanya bertanya lagi dan kita jawab NU, lantas lusa dia tanya lagi kita jawab Muhammadiyah. Tentu saja penjelasannya menyusul.


NU dan Muhammadiyah ada di wilayah berbeda bung, kita mesti tahu itu. NU itu di wilayah pemikiran, sedang Muhammadiyah di wilayah amal. KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asyari seperti kita tahu sebelumnya diceritakan pernah ngaji bersama pada beberapa guru yang sama di Makkah, tapi rasanya kita juga perlu tahu bahwa mereka juga pernah ngaji di pesantren yang sama di Kendal, bahkan satu kamar di asrama. KH Ahmad Dahlan lebih muda dua tahun dibanding KH Hasyim Asyari. Dan jangan lupa pula, paska khatam dari Mekkah, mereka juga ngaji bareng lagi dengan Kiai Kholil Bangkalan, yang jika diturut nasabnya nyambung ke Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati. Mahzab fiqihnya Syafii, aqidahnya merujuk Asy’ariah dan Maturidiyah, rujukan lain sama-sama ke Imam Ghazali juga. Nah, lantas beda dimana?

Bedanya pada bahan bacaannya. KH Hasyim Asyari banyak membaca pemikiran salafy, sedang KH Ahmad Dahlan banyak membaca pemikiran wahabi. Perlu diketahui istilah ‘salafy’ dan ‘wahabi’ di Arab dahulu sangat berbeda dengan sekarang. Wahabi dirintis oleh Muhammad bin Abdul Wahab, dan salafy dicetus oleh Muhammad Abduh. Pencitraan wahabi yang disamapadankan dengan salafy lantas dicitrakan sebagai golongan ekstrimis di Indonesia adalah pengambilan kesimpulan yang bodoh. Mereka tidak tahu sejarah sehingga secara serampangan menganggap wahabi dan salafy adalah mahzab yang sama sekali utuh.

Muhammad bin Abdul Wahab tampil dengan pemikiran dan kondisi ummat pada saat itu yang sudah terlalu jauh dari agama, maka ia mengembangkan pemikiran ‘kembali pada Quran dan hadist’. Semua hal dan permasalahan yang terjadi kemudian diturut pada ayat Quran dan hadist yang cocok sehingga kita dapati kemudian pemikiran wahabi ini terkesan kaku. Pada kondisi saat itu, pemikiran semacam ini tentu perlu mengingat keadaan ummat yang semakin sakit parah, namun inti ajaran ‘kembali pada Quran dan hadist’ ini seakan tidak paripurna karena meninggalkan bangunan ilmu ulama terdahulu. Semua permasalahan umat dikembalikan pada Quran dan hadist seolah cocok sempurna 100%, tanpa penyesuaian dengan psikologi dan kondisi ummat. Padahal ilmu hadist dan ilmu fiqih lebih dulu lahir ilmu fiqih, sehingga tidak mungkin serta merta meniadakan ulama-ulama fiqih dalam memahami hadist. Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab ini lantas disebut sebagai purifikasi. Pemurnian.

Kemudian lahirlah pemikiran lain dari Muhammad Abduh, dengan pangkal usaha membuka kembali pintu ijtihad. Inti pikirannya juga tetap sama melakukan kritisisme pada kondisi ummat dan ulama terdahulu, namun tidak semuanya, tidak seluruhnya. Sehingga bangunan ilmu ulama terdahulu tidak seluruhnya tertolak, namun disesuaikan dengan kebutuhan ummat. Pemikiran ini juga membuka diri dari pemikiran barat, yang salah satunya adalah egaliterisme politik, sering kita sebut sebagai demokrasi. Yang sebenar-benar intinya memang telah ada sejak zaman empat khalifah, tentu kita ingat bagaimana empat khalifah dipilih lewat jalan musyawarah, kesepakatan bersama, inti demokrasi, intisari yang kemudian berubah menjadi masa dinasti pada kerajaan Muawiyah. Itulah demokrasi yang sebenarnya, bukan salah kaprah dan salah tingkah dengan nggampangke pake cara voting yang secara paksa dapat ajaib menyamakan ‘batu kali’ dengan ‘batu akik’ dan ‘emas berlian’.

Nah, salafy dan wahabi menjadi padu sepadan pada fiqih ibadah, diantara banyak dasar fiqih dan pemikiran lain. Hal tersebut yang kemudian secara bodoh disamakan oleh para perusak ukhuwah Islam bahwa salafy dan wahabi adalah sama, dan radikal, ekstrim, mengancam ketentraman ummat. Padahal dua-duanya lahir dari pemikiran mendalam kondisi dan kerusakan ummat pada zaman itu, pemikiran yang sama-sama berdiri untuk kembali memurnikan dan memegang teguh islam secara utuh.

Nahdlatul Ulama

NU Boyolali menerbitkan satu buku yang seolah menyegarkan, dimana selama ini jarang sekali ada buku terbitan NU. Pada buku itu, salah satu isinya menyiratkan bahwa NU Boyolali melakukan kritik pada kondisi NU sendiri yang saat ini terlalu mengutamakan tanfidiyah (organisasi) dan bukan syuriah (ulama). Padahal bangunan dasar NU adalah ketaatan pada dewan ulama dengan pertimbangan dan pengalaman yang lebih, ketimbang pengambilan keputusan oleh para golongan muda di organisasi.

NU sebenarnya sangat menjunjung tinggi ilmu, KH Hasyim Asyari sendiri mengatakan bahwa “anda harus tahu siapa guru anda, guru anda belajar dan berguru pada siapa, sehingga ilmunya dapat dirunut hingga ulama terdahulu. Rumah itu dimasuki lewat pintu, bukan lewat jendela, kalau anda masuk rumah tidak lewat pintu, itu berarti anda mencuri.” Seolah ingin mengatakan, sama seperti ilmu, kalau tidak didapatkan lewat guru yang berurut riwayat ilmunya, maka ilmu itu seperti ilmu curian saja, terpotong-potong, tidak utuh, tidak jelas.

Maka pentingnya pondok tradisional saat ini sudah seperti membangun negara baru saja, seperti Gontor yang banyak menghasilkan tokoh negeri, pun Sidogiri yang konsisten menyeimbangi kebingungan masyarakat ditengah banyaknya ‘kiai’ palsu. Yang nyata dapat dijadikan contoh adalah peristiwa kritik buku Quraish Shihab oleh sekumpulan pemuda lulusan Aliyah pondok Sidogiri. Buku Quraish Shihab yang bejudul “Sunni-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?” yang terbit pada kisaran Maret 2007, di-counter dengan apik hanya dalam hitungan bulan dengan terbitnya buku “Mungkinkah Sunnah Syiah Bersatu Dalam Ukhuwah?” pada kisaran September 2007 yang dipimpn oleh anak muda bernama Ahmad Qusyairi Ismail.

Inilah inti bahwa pendidikan di pesantren sangat tepat dan sesuai kebutuhan, hingga setingkat lulusan Aliyah saja dapat dengan elegan merubuhkan logika-logika “kiai profesor” yang hingga hari ini terus saja membuat ummat bingung. Pendidikan di pesantren tradisional yang masih memegang teguh sistem turun temurun sangat individualis, karena tidak menggunakan kurikulum. Ini justru jadi solusi pendidikan yang pas, trep, santri yang baru belajar satu tahun dapat saja menyaingi pemahaman dan wawasan santri yang telah belajar sekira lima tahun, dan hal ini sah sah saja di pesantren, karena pada hakikatnya kita memang tidak bisa melakukan penyamarataan pada kemampuan dan kapasitas murid. Maka ndak masalah ada manusia Indonesia yang di pesantren hanya 2,5 tahun plus keluar dengan predikat “diusir”, lantas hari ini jadi guru bangsa yang selalu ‘di-sowani’ para calon pemegang kekuasaan negeri untuk sekedar ‘minta restu’.

Sama seperti saat Imam Ghazali sebagai penasehat kerajaan mulai tidak diindahkan, maka ia memutuskan untuk mundur dari jabatan tersebut dan mengasingkan diri ‘mengaji’ pada gurunya di pesantren tradisional di daerah terpencil. Oleh gurunya ia ditempatkan di kelas setingkat anak umur paud, bayangkan, qadhi ahli fiqih ditempatkan di kelas umur paud, tapi itulah cara khusus pesantren untuk mendidik kematangan emosional dan mental santri-santrinya.

NU sendiri sebenarnya berdiri untuk menangkal perkembangan wahabisme yang terlalu rigid. NU memang punya dendam sejarah pada peristiwa serbuan wahabi ke Mekkah yang pada peristiwa tersebut salah satu syekh NU dibunuh di rumahnya sendiri. Maka KH Hasyim Asyari melakukan pengembangan NU di Indonesia khusus untuk mengantisipasi wahabisme rigid yang kebablasan tersebut yang mungkin juga akan menyebar di Indonesia. Kemudian KH Hasyim Asyari mengutus teman dekatnya untuk menyusup dan belajar sebagai Muhammadiyah untuk sekaligus mendampingi KH Ahmad Dahlan dalam pengembangan Muhammadiyah-nya.

Muhammadiyah

Kita terkadang seperti menafikan peran NU dalam pencerdasan umat, padahal jika diperhatikan secara seksama, gerakan NU dan Muhammadiyah memang berbeda wilayah sejak awal, jadi tidak bisa dibenturkan. NU berada pada wilayah pemikiran, lewat bangunan ilmu di pesantren-pesantren tradisional. Dan Muhammadiyah pada wilayah amal, lewat bangunan amal diperkotaan, lewat sekolah, universitas, rumah sakit, dan banyak yayasan sosial.

Untuk memahami itu, kita mesti kembali membuka sejarah kapan awal mula Muhammadiyah menjadi gerakan amal. Muasalnya berada pada saat Politik Etis digemakan oleh pemerintah belanda. Politik Etis lahir dari protes kaum intelektual dan kaum rohaniwan Belanda pada Ratu Belanda mengenai hasil bumi dan harta Hindia Belanda (Indonesia) yang kerap digunakan untuk kepentingan Belanda (di Eropa) tanpa memberikan perhatian lebih lanjut pada kondisi ummat kristen di Hindia Belanda. Padahal agama kristen menganggap tanah baru yang penduduknnya tidak beragama kristen adalah tanah yang harus didakwahi. Maka dari situlah dimulai misi Gospel. Didirikan banyak sekolah kristen, rumah sakit, dan bayak sektor sosial ekonomi yang digunakan atas nama kristen untuk kepentingan penyebaran agama kristen.

Disitulah Muhammadiyah tampil, untuk menyaingi segala hal sosial ekonomi berbasis kristen yang sedang gencar diperkuat oleh Belanda, hingga ke akar-akarnya yang pada saat itu petani banyak didampingi oleh para pastor kristen pun, kader Muhammadiyah masuk turun  mendampingi petani hingga perlahan sama sekali minimal dapat seimbang antara keberadaan muslim dan kristen pada wilayah sosial ekonomi mayarakat, hingga pada akhirnya dapat menggantikan peran para pastor kriten itu.

Muhammadiyah tidak pernah bicara politik, maka jika pada suatu peresmian pesantren tahfidz pernah saya temui pimpinan Muhammadiyah setempat yang menjanjikan suara pemenangan Bupati, saya hanya ngekek saja dan berkhusnudzon bahwa orang ini ndak tahu sejarah perpolitikan Muhammadiyah. Muhammadiyah mempunyai wakil khusus di Masyumi dan wakil khusus ini tidak pernah menjadi pejabat tinggi Masyumi. Masyumi sendiri pernah sangat kondusif saat KH Hasyim Asyari masih hidup dan mengeluarkan fatwa bahwa satu-satunya kendaraan politik umat muslim harus lewat Masyumi, hal yang kemudian tidak diindahkan para kader politik muda paska KH Hasyim Asyari wafat hingga menimbul gejolak yang menyebabkan Masyumi diminta bubar oleh Presiden Soekarno, suara NU di Masyumi-pun seolah dipingggirkan dan tidak dapat mengikat, hanya sebagai ‘pertimbangan’.

Sejarah menceritakan pada kita bahwa kapasitas dan kapabilitas pemimpin dalam meredam dan mengelola konflik hingga ujung bawah ummat adalah hal yang sangat krusial. Konflik ini bertambah runcing beberapa tahun kemudian paska bubarnya Masyumi hingga pada saat itu sangat kentara anggapan “menteri agama dari siapa?” NU atau Muhammadiyah. Hingga saat-saat terparahnya pada tahun 70-an Muhammadiyah melakukan pembedaan dari NU. Salat tarawih diubah menjadi 8 rakaat plus 3 rakaat witir, masjid diubah penandanya menjadi kentongan dari semula bedug, rebutan masjid – ini masjid NU; itu masjid Muhammadiyah, dan banyak lagi gesekan akar rumput yang diawali oleh arogansi politik petinggi kedua belah pihak. Hal ini kelak di-‘panas’-kan lagi menjelang lengsernya Soeharto, dimana Gus Dur masuk barisan politik NU sedang tiga pendekar Chicago (Buya Syafii, Nurcholis Madjid, dan Amien Rais) masuk barisan Muhammadiyah, ummat kembali jadi korban kebingunan.

Nahdlatul Muhammadiyyin

Maka dagelane Cak Nun dadio kowe podo Nahdatul Muhammadiyin wae. Sebuah dagelan yang hanya akan ditanggapi lewat tawa satir mereka yang memang hanya mencari tawa dengan Cak Nun, tapi menjadi sindiran tegas untuk pada pencari ilmu sing tenanan, mesti mbukak meneh sejarah, sinau meneh dari awal akar-akar pemikiran KH Hasyim Asyari dan KH Ahmad Dahlan, bukan soal NU dan Muhammadiyah. Tidak penting soal NU dan Muhammadiyah, wong kui mung geguyone poro gawan politik wae lho. Ora ngerti opo yen Muhammadiyah yo pernah salat tarawih 20 rakaat, ora ngerti opo yen mbiyen kui mesjide NU Muhammadiyah podo – ora isoh dibedake sing endi sing Muhammadiyah, sing endi NU, karena memang akar pemikirannya nyawiji cah. Wes kowe kuwi ngikuti serat-serat pemikirane wae, dasar pemikiran. Bedane mung bacaane lho, bacaane KH Hasyim Asyari karo KH Ahmad Dahlan yo ijtihad kuwi, podo koyo kowe seneng lothek sing nganggo kacang opo lotek gula asem sing ora nganggo kacang. Sing luwih pas karo roso lan pikiran tentremmu sing endi. Urusane karo rosone.

Maka pasca Masyumi diminta bubar, dan Soekarno menurunkan Dekrit, dikirimilah Soekarno sepucuk surat oleh banyak ulama. Yang isinya berinti meminta Soekarno menyertakan Piagam Jakarta pada Dekritnya, dan hal ini dilakukan benar-benar pada masa Soekarno, sehingga bunyi Dekrit adalah “kembali ke UUD 1945 dan Pancasila yang dijiwai oleh Piagam Jakarta”, kata “dijiwai” ini yang kelak dihilangkan pada masa Orde Baru. Para ulama memang lebih mengutamakan Islam sebgai falsafah negara, islam dalam kenegaraan, islam termaktub dalam rambu-rambu negara, islam sebagai dasar negara, bukan negara islam. Tapi hal ini yang sering sekali di alay-alaykan oleh para liberal dan syiah hingga sering sekali memunculkan isu-isu yang berusaha memisahkan islam dari negara, meniadakan islam dari negara, menjadikan Majapahit dan Sriwijaya sebagai rujukan, menafikan kerajaan-kerajaan islam dalam membangun wacana sejarah.

Mereka-mereka itu sing jane ora podo moco sejarah. Malah dadi dagelan buat pemuda-pemuda yang serius dalam menggiati dan bercengkrama dengan sejarah. Yah, pada akhirnya kita kembali bertasbih saja dalam dagelan itu, karena sungguh Maha Suci Allah dan segala perbendaharaannya telah menciptakan Indonesia yang otentik dari semua segi dagelan lain di muka bumi. Dagelan yang bahkan dapat mendewasakan ummat dalam kebingunan. Wes pokok’e gak ono meneh dagelan koyo ning Indonesia iki.

Pada puncak dagelan yang klimaks, air akan keluar dari mata. Dagelan yang tadinya menghibur menjadi seperti nyawiji dengan tangis yang satir. Membentuk ironi, apakah ini hiburan sebagai sedekah Allah pada manusia Indonesia, atau tangisan yang menandakan cethek e utek kita pada ilmu dan kagoknya kita pada kedalaman menyusuri sirath Allah. Wallahu alam, mari belajar kembali, lagi dan terus. Pokok’e saiki yen ditakoki kowe Muhammadiyah opo NU kiro-kiro wes isoh mantep jawabe to yo?
——-

Disarikan dari Kajian Akar Pemikiran KH Hasyim Asyari dan KH Ahmad Dahlan dengan Ustad Arif Wibowo – Ketua Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI – http://www.taman-adabi.com) – Solo

Sumber : Muslimdaily.net
Posting by Mohammad Nurdin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar