Cari Blog Ini

Rabu, 02 November 2011

Puasa Sunat

Saya diajak teman berpuasa sunat mulai tanggal 1 Dzulhijah sampai satu hari sebelum Hari Raya Idul Adha (tanggal 9 Dzulhijah). Lalu saya pikir “Benarkah ada dasarnya. Menurut prinsip atau kaedah dalam ilmu fiqih yang saya ketahui bahwa Semua halal dalam hal muamalah kecuali ada larangan tetapi semua diharamkan dalam hal ibadah (hablumminallah) kecuali ada perintah. Dan juga ada buku yang saya baca untuk meningkatkan pahala meski amal kita sedikit, ada caranya yaitu mengerjakan sesuatu yang wajib dan tepat waktu. Kalau yang sunnat maka prioitaskan yang muakkad. Jadi bagaimana puasa menjelang Idul Adha itu?”


Jawabannya saya dapatkan di dalam Buku Fiqh Islam (Penerbit Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2007 cetakan ke-40) karya H. Sulaiman Rasyid halaman 241 - 244. Berikut ini kutipan dalam Buku Fiqh Islam tersebut :

Puasa yang disunatkan itu ada enam yaitu :

1. Puasa enam hari dalam bulan Syawal
Dari Abu Ayyub, Rasulullah SAW telah berkata, “Barang siapa puasa dalam bulan Ramadhan, kemudian ia puasa pula enam hari dalam bulan Syawal, adalah seperti puasa sepanjang masa.” (Hadist Riwayat Muslim)

2. Puasa hari Arafah (tanggal 9 bulan Haji/Dzulhijjah), kecuali oarang yang sedang mengerjakan ibadah haji, maka puasa ini tidak disunatkan atasnya.Dari Abu Qatadah, Nabi SAW telah berkata, “Puasa hari Arafah itu menghapus dosa dua tahun : Satu tahun yang telah lalu, dan satu tahun yang akan datang.” (Hadist Riwayat Muslim)
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah SAW telah melarang berpuasa pada hari Arafah di Padang Arafah.” (Hadist Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah)

3. Puasa hari 'Asyura (tanggal 10 Muharram)Dari Abu Qatadah, Rasulullah SAW setelah berkata, “Puasa hari 'Asyura itu menghapus dosa satu tahun yang telah lalu.” (Hadist Riwayat Muslim)


4. Puasa bulan Sya'banKata Aisyah, “Saya tidak melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasa satu bulan penuh selain dalam bulan Ramadhan, dan saya tidak melihat beliau dalam bulan-bulan yang lain lebih banyak daripada bulan Sya'ban.” (Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim)


5. Puasa hari Senin dan KamisDari Aisyah, “Nabi Besar SAW memilih waktu puasa hari Senin dan hari Kamis.” (Hadist Riwayat Tirmidzi)


6. Puasa tengah bulan (tanggal 13, 14, dan 15) dari tiap-tiap bulan Qamariah (tahun hijriah)Dari Abu Dzar, Rasulullah telah berkata, “Hai Abu Dzar, apabila engkau hendak berpuasa hanya tiga hari satu bulan, hendaklah engkau berpuasa tanggal tiga belas, empat belas, dan lima belas.” (Hadist Ahmad dan Nasa'i)


Puasa Terus Menerus
Berpuasa terus menerus sepanjang masa, termasuk dua hari raya da hari tasyriq, hukumnya haram. Kalau tidak termasuk hari raya dan hari tasyriq, maka hukumnya makruh.Sabda Rasulullah SAW : “Bahwasanya Tuhanmu mempunyai hak atasmu, yang wajib engkau bayar, begitu juga dirimu dan keluargamu, semua mempunyai hak yang wajib engkau bayar. Maka dari itu, hendaklah engkau berpuasa (sewaktu-waktu), dan berbuka (sewaktu-waktu pula), berjaga malam (sewaktu-waktu), dan tidur (di waktu yang lain). Dekatilah keluargamu, dan berikanlah hak mereka satu persatu.” (Hadist Riwayat Bukhari)

Hikmah Puasa
Ibadah puasa itu mengandung beberapa hikmah, di antaranya sebagai berikut :

1. Tanda terima kasih (bersyukur) kepada Allah SWT atas nikmat pemberian-Nya yang tidak terbatas banyaknya, dan tidak ternilai harganya.
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.” (QS Ibrahim : 34)

2. Didikan kepercayaan. Seseorang yang telah sanggup menahan makan dan minum dari harta yang halal kepunyaannya sendiri, karena ingat perintah Allah, sudah tentu ia tidak akan meninggalkan perintah Allah, dan tidak sksn berani melanggar segala larangan-Nya.

3. Didikan perasan belas kasihan terhadap fakir miskin karena seseorang yang telah merasa sakit dan pedihnya perut keroncongan. Hal itu akan dapat mengukur kesedihan dan kesusahan orang yang sepanjang masa merasakan ngilunya perut yang kelaparan karena ketiadaan. Dengan demikian, akan timbul perasaan belas kasihan dan suka menolong fakir miskin.

4. Menjaga kesehatan.


Riwayat Hidup Haji Sulaiman Rasjid
Nama lengkap Sulaiman Rasjid bin Lasa. Dilahirkan di Liwa, Lampung Barat, tahun 1896.Beliau mendapat pendidikan agama dari Perguruan Tawalib, Padang Panjang, Sumatera Barat. Sebelumnya belajar pada Buya Kyai H. Abbas di Padang Panjang.

Pada tahun 1926, ia belajar di sekolah guru Mualimin, Mesir kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi Al-Azhar di Kairo, Mesir, jurusan Takhassus Figh (spesialis ilmu hukum/Figh) dan selesai tahun 1935.

Sepulang dari Mesir, Pemerintah Kolonial Belanda menunjuknya menjadi Ketua Penyelidik Hukum-hukum Agama di Lampung. Pada zaman pendudukan Jepang, beliau menjadi Pegawai Tinggi Agama pada kantor Syambu, yaitu pada tahu 1937 sampai 1942.

Setelah Indonesia merdeka (1945), beliau ditugaskan oleh Presiden Sukarno di Departemen Agama RI. Pada tahun 1947 – 1955, beliau menjadi Kepala Jawatan Agama RI dan menjadi asisten dosen I di Pergurun Tinggi Agama Islam Negeri (PTIAIN) Jakarta. Pada tahun 1958 – 1962 menjadi dosen PTIAIN Yogyakarta. Pada tahun 1960 diangkat menjadi guru besar mata kuliah ilmu fiqh. Pada tahun 1962 – 1964 beliau menjabat sebagai Rektor maka kuliah ilmu Figh di IAIN Jakarta.Menjelang pensiun beliau pulang kampung dan menjabat Rektor IAIN Lampung. Pada tanggal 26 Januari 1976, dalam usia 80 tahun beliau pulang ke Rahmatullah, meninggal dunia. Karya ilmiah almarhum yang sempat terbit dan dibukukan antara lain Fiqh Islam, yang hingga sekarang masih terus dicetak dan diterbitkan. Buku ini merupakan buku wajib pada sekolah menengah dan perguruan tinggi di Indonesia dan Malaysia.

Semoga karya beliau selalu bermanfaat bagi Agama Islam dan kaum muslimin umumnya, dan amal baik almarhum diterima oleh Allah SWT. Amien.

Posting by Mohammad Nurdin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar